Jika ada novel Kristen yang paling sering disebut belakangan ini pastilah The Shack karya William Paul Young. Saya beruntung menjadi pembaca mula-mula saat novel ini pertama kali nongol di toko buku. Karena saya suka novel ber-genre misteri—mulai dari Agatha Christie sampai Dan Brown—maka begitu melihat sampul The Shack yang misterius—apalagi dengan tulisan ‘Inspirational Novel’, saya langsung ambil di rak dan saya bawa ke kasir.

Sekilas tentang The Shack
The Shack adalah novel karya penulis Kanada William P. Young, dulunya manajer kantor dan karyawan hotel, yang diterbitkan pada Juli 2007. Novel ini mula-mula diterbitkan sendiri tetapi kemudian menjadi buku laris versi USA Today karena terjual 1 juta eksemplar pada Juni 2008. Versi paperback (buku murah) masuk daftar New York Times best seller sejak Juni 2008 sampai 2010.

Young mula-mula menulis novel ini sebagai kado Natal bagi enam anaknya dan tidak punya rencana untuk menerbitkannya. Setelah mengizinkan beberapa temannya untuk membaca buku ini, dia didesak untuk menerbitkannya. Pada tahun 2006, Young bekerja sama dengan Wayne Jacobsen, Brad Cummings (mantan pendeta dari Los Angeles) dan Bobby Downes (pembuat film) untuk menerbitkan buku ini. Mereka gagal menerbitkannya baik lewat penerbit rohani maupun sekular. Jadi, mereka mendirikan Wind Blown Media untuk tujuan menerbitkan buku ini. Novel ini ternyata meraup sukses besar lewat kabar dari mulut ke mulut dan pertolongan website. Dana awalnya berasal dari Brad Cummings, pemimpin Wind Blown Media, yang menghabiskan limit 12 kartu kredit pribadinya.

Judul buku ini merupakan metafora yang berarti “rumah yang Anda bangun dari penderitaan Anda”, seperti yang dijelaskan oleh Young lewat wawancara telepon. Dia juga berkata lewat talk show di Radio kepada Drew Marshall bahwa The Shackmerupakan tempat di mana Anda merasa terjebak, terluka, dihancurkan... hal-hal tempat rasa malu dan sakit berpusat. (Wilkipedia).

Pertarungan Akbar
Tema utama novel ini sebenarnya cukup klasik, yaitu pertarungan antara Tuhan yang baik dan Iblis yang jahat. Saat membaca buku ini saya teringat buku-buku tentang tragedi yang pernah saya baca, bahkan yang saya terjemahkan. Where Is God When It Hurts karya Philip Yancey bertengger di tempat pertama ingatan saya karena saya menerjemahkan buku ini bertahun-tahun yang lalu. Kemudian When God Doesn’t Make Sense tulisan James Dobson. Lalu When Bad Things Happen to Good People buah pemikiran Harold S. Kushner. Paling tidak ketiga buku ini mewakili apa yang dipikirkan oleh William Paul Young saat menulis The Shack.

Kita pun mewakili mereka bertanya dalam hati atau mengungkapkannya di panggung bernama dunia: Di mana Tuhan saat kita menderita? Mengapa Tuhan yang baik mengizinkan hal-hal yang buruk—bahkan terburuk— menimpa umat yang dikasihi-Nya? Mengapa Dia tidak melakukan upaya pencegahan? Mengapa Tuhan yang Mahaadil tampak tidak peduli dengan ketidakadilan ini?

Untuk menjawab pertanyaan itu jelas tidak segampang membalik tangan. Namun, justru masalah yang rumit dan pelik inilah yang membuat seorang ayah bernama William P. Young menulis novel sebagai kado bagi keenam anaknya. Sebagai ayah yang baik, dia ingin memberikan pandangan tentang Tuhan kepada mereka agar mereka bisa mengenal Tuhan dengan lebih utuh. Meskipun novel ini fiksi, tetapi ucapan William bahwa semua percakapan di dalamnya “semua nyata, semua benar” menunjukkan bahwa pergumulan itu sebenarnya dia alami sendiri dan novel ini merupakan hasil pencarian kebenaran hakiki lewat pergumulan imannya dan dialognya dengan teman-temannya. Dari kata pengantarnya, tampaknya dia ingin memberi kesan kepada pembaca bahwa kisah ini ‘nyata’. Inilah yang menjadi kontroversi novel ini.

Jalan Cerita
Novel ini dibuka dengan seorang tokoh bernama Mackenzie Allen Phillips yang menerima undangan dari Tuhan untuk menemuinya di sebuah gubuk di hutan: “Mackenzie, sudah lama sekali Aku merindukanmu. Aku akan berada di gubuk akhir minggu depan jika engkau ingin bertemu. Papa.” (Hal. 17). Kisah mengalir dengan cepat saat Mackenzie mengajak anak-anaknya untuk berkemah. Di tempat yang seharusnya mereka bersukacita itulah Missy, anak bungsu kesayangannya, diculik dan dibunuh oleh seorang pengidap pedofilia. Peristiwa tragis inilah yang membuat perasaan Mackenzie hancur. Inilah The Great Sadness dalam hidup Mack dan keluarga.

Pergumulannya yang hebat dan pertanyaan yang memuncak tentang kemahakuasaan dan keterlibatan Tuhan dalam hidup umat-Nya serta keingintahuannya membuatnya memutuskan untuk memenuhi undangan “Papa”. Di tempat di mana jasad Missy terbaring itulah dia justru merasakan Tuhan hadir. Young dengan sangat bagus menggambarkan kuasa adikodrati itu dengan mengubah gubuk yang beku itu menjadi suasana surgawi yang penuh kehangatan. Tritunggal hadir dalam bentuknya yang sangat manusiawi.

Tuhan—yang meskipun dipanggil ‘Papa’—digambarkan sebagai seorang ibu kulit hitam yang ramah dan pandai memasak. Yesus dilukiskan sebagai seorang pemuda Timur Tengah berpakaian pekerja kasar (tukang kayu?), sedangkan Roh Kudus diceritakan dengan nama Sarayu, dengan latar belakang Asia yang kental. Lewat perjumpaan dengan Tritunggal yang mewujud dalam bentuk manusia inilah Mack mengalami transformasi hati yang—meskipun lambat—menghasilkan perubahan yang tetap. (Young dalam wawancara ekslusif yang saya saksikan di layar kaca dengan The 700 Club berkata, “Perbenturan antara ‘tragedy and triumph’.”)

Kekuatan dan Kelebihan Novel Ini
Begitu buku ini muncul di toko buku, saya langsung membelinya (belakangan, saya mendapatkan gratis dari penerbitnya). Saya membacanya di mana saja—dalam perjalanan dari rumah ke kantor, di atas pesawat, di kamar saya—dengan rasa haus yang tinggi. Gaya bertutur Young yang mengalir deras mencapai puncaknya saat Missy ‘ditemukan’ hilang di bumi perkemahan. Hiasan kepik merah berbintik hitam yang ditinggalkan penculik menjadikan novel ini jadi sedikit bernuansathriller. Sikap Young yang memilih bahwa dalam situasi apa pun Tuhan masih ambil kendali (bandingkan Roma 8:28) menjadikan novel ini memberikan harapan bagi yang tiada harapan. Di dunia ini, ketika hidup tidak terangkai sempurna, Young memilih lari ke ‘religion’ yang memberikan solusi ‘reconciliation’ ketimbang ‘rebellion’ yang berakhir ke ‘destruction’.

Setiap orang tidak bisa menggambarkan Tuhan dengan baik. Demikian juga Young. Oleh sebab itu, jika Anda sedikit bingung membaca kisah ini, tidak perlu bersusah hati. Biarlah Roh Kudus sendiri yang memberi Anda hikmat mana bagian dari novel ini yang bisa Anda ambil mutiara kehidupannya dan mana kerikil yang harus Anda buang. Kesulitan Young untuk menggambarkan Tritunggal merupakan kelemahannya—juga kelemahan banyak orang—yang menurut saya bisa dimaafkan.