Teruslah berjalan dalam kebenaran walau itu adalah penyebab kematianmu!!

Minggu, 26 Februari 2012

Dia Datang Sebentar


Melly dengan cepat mencakar mukaku ketika aku mendekat. Sebuah serangan yang tak kusangka-kusangka.
Di malam sesepi ini alunan lagu Pergi Tuk Kembali dari suara Ello melengkapi, membuat suasana haru biru.
“Tret tet tet tet tet…” Frekuensi suara speaker radioku tiba-tiba terganggu. Seseorang berusaha menelepon atau ngirim SMS ke handphone-ku. Ah…Lega banget. Di waktu-waktu sesunyi ini, di
tengah malam kayak gini, hatiku memang selalu bilang,
“somebody call me please…” Maklum, nggak banyak remaja yang susah tidur sepertiku. Masih lebih gampang menemukan anak yang susah mandi. Makanya, setiap kali ku-miss call di tengah malam, teman-temanku pasti mengomel besok paginya di sekolah.
“Ya ampun…Tadi malem jam 2 pagi Nita missed called. Belum tidur apa?!!”
“Ya iyalah…bego! Masa’ arwahku yang menelepon kamu?!”
Tapi kalimat ini cuma kuucapkan dalam hati kalau nggak mau dicap cewek bermulut bocor hanya karena ngomong kata ‘bego’! Teman- temanku segengku di sekolah memang memiliki tingkat keberadaban bahasa cukup tinggi dibanding kawan-kawan gaulku yang memakai kata hampir sama fungsinya dengan tanda titik.
“Nita dimana ?”
“Tadi gue lihat di toilet”
“Ah ”
“Tret tet tet tet tet…” Suara berisik itu kembali terdengar setelah sempat terhenti sebentar. Sedetik, dua detik, nada irama Sleepyhead tak kunjung berkumandang dari ponsel pholyponic-ku.
“Uh, ternyata cuma sinyal operatornya yang sedang turun naik,”
gerutuku dalam hati. Kutengok Swatch-ku, “hmmm setengah satu malam.” Mama sudah tidur pasti. Lampu dapur mati, tanda rutinitasnya membuat kue kecil untuk dijual besok sudah selesai.
Suara dehemen Papa juga sudah sedari tadi tak terdengar. Biasanya, itulah yang dikerjakannya sambil menonton tayangan berita tengah malam.
Aku kembali tenggelam dalam alunan lagu mendayu-dayu. Kali ini Sedih Tak Berujung Glen Fredly yang menemaniku. Gerah! Kubuka daun jendela kamarku lebar-lebar. Angin menyergap masuk. Suaranya mendesir. Ssssssshhh. Kutatap ke luar. Gelap. Gelap dekat. Banyak bayangan bergoyang. Sesekali terdengar suara .
“kresek!”
Tek tek tek tek tek tek….! Tiba-tiba terdengar suara seperti pantat kuali dipukul sendok.
“Heh? Tumben jam segini tukang mie tek-tek masih jualan?” Kutengok lagi Swatch. 02.31
WIB. Saat kepalaku berbalik melihat ke depan, si tukang mie tek-tek sudah berada di depan rumahku. Sejajar lurus dengan jendela kamarku.
“Yah, ada apa dia berhenti di depan rumahku?” Saat batinku bertanya, tukang mie tek-tek itu menoleh. Tepatnya mengalihkan perhatian ke wajahku. Tatapannya dingin. Sorot matanya tajam. Dia seperti orang yang keheranan.
Lama lehernya ditolehkan ke arahku. Dia menatapku. Lama. Dingin.
Datar. Aku mencoba membantah bahwa itu hanya perasaanku. Tapi pria bertopi pet itu memang menatapku. Hi…, aku bergidik. Bulu romaku berdiri. Dadaku berdegup lebih kencang. Darahku berdesir. Dia seperti menangkap kecemasanku.
“Mienya Neng.” Sebuah suara berat yang datar. Aku terlonjak kaget.
Aku hanya membisu.
“Mienya Neng.” Tawaran itu lagi. Aku masih kelu. Sementara si tukang mie tek-tek masih menatap. Bibirku tetap terkatup. Si tukang mie berlalu. Kali ini sepi, tanpa suara tek-tek.
“Fffhhh.” Buru-buru kututup jendela.
“Meong!”
Tiba-tiba seekor kucing melompat masuk, tepat saat jendela kamar mau kututup.
“Duh! Meli ngagetin aja sih!” Cepat-cepat kugendong binatang mungil, teman paling setiaku itu. Kugamit lengan mungilnya.
Sedikit basah. Refleks kulap tanganku ke baju. Kebiasaan buruk memang. Ibuku sering marah karena sering menemukan noda kotor yang sulit dibersihkan pakai deterjen apapun di bajuku.
“Merah.”
Aku masih tak bereaksi pada detik pertama kulihat noda di ujung baju kausku itu.
“Ya Tuhan! Darah!” Aliran cairan penyambung nyawa dalam tubuhku berdesir. Langsung menyemburat ke ujung kepala. Cepat kucari sumber noda itu. Meli berdarah!Aku paling ngeri sama darah. Kontan kulempar Meli.
“Miauw!”
“So…Sori Meli.”
“Sssrrtt….”
Melly dengan cepat mencakar mukaku ketika aku mendekat. Sebuah serangan yang tak kusangka-kusangka. Melly belum pernah begini.
Kurasakan pipi kiriku langsung bengkak. Perih. Darah segar mengalir bak air mata. Cepat kuambil handphone-ku. Kupencet nomor telepon rumahku sendiri. Biar seisi rumah terbangun.
“Tut….Tut…..Tut….”
Lama tak ada yang mengangkat. Dering telepon di ruang tengah terdengar jelas dari kamarku.
“Tut… Halo…Tut…”
Aku terlonjak kaget. Ada suara lain di sela-sela nada sambung, menjawab dari telepon genggamku. Terdengar jelas sekali.
Detik berikutnya nada sambung tut dan suara ‘halo’ berlomba menarik perhatian kupingku. Sebuah suara perempuan. Kujauhkan telepon itu dari telinga. Aku berubah tegang, meski berusaha tetap tenang.
Ah, kupikir halusinasi saja. Lalu kucoba dengarkan lagi.
“Tut…Nita…Tut…”
“..iiiiyya…,”
“Nita aku ada di kamar mandi…”
“Sumpah aku tidak pernah setakut ini!” Berteriak aku
dalam hati. Aku bisa mendengar darahku berdesir. Denyut jantungku berdegup kencang. Kepalaku pusing! Cepat kubuka pintu kamar mandi. Dan, kulihat dia ada disana, meringkuk di ujung kamar mandi. Kepalanya tertunduk. Aura sepi segera menyergap jiwaku. Kurasakan kesepian yang membunuh kalbu. Sepi sekali…
“Lara…”
Diam.
“Kamu?”
Aku bukannya tidak percaya ada makhluk lain mengisi dunia ini. Tapi aku tidak percaya, kenapa aku yang didatangi? Di sudut sana, kulihat Lara, sahabat, teman, saudara, belahan jiwaku.
Kami menabrak trotoar jalan raya dua tahun lalu. Seorang pengemudi yang mabuk tak kuasa mengendalikan mobilnya. Kami yang kala itu mengendarai sepeda motor berusaha menghindar. Lara yang memegang kendali motor membanting stir ke trotoar beton. Dia mengalami luka dalam yang teramat parah, meski sekujur tubuhnya
nyaris utuh, hanya beberapa memar kecil. Tapi nyawanya tak tertolong. Sebuah upacara pekuburan yang mengharu biru kemudian menjadi bab terakhir cerita hidupnya.
Dan aku, sejak dia pergi aku begitu kesepian. Sehari-hari di kamar saja kerjaku. Rasanya tak ada ruang lain di dunia ini yang bersedia menerimaku sebaik ini, sewajar ini.
“Lara, untuk apa kamu datang?”
Dia menatapku dengan pandangan sedih, masih meringkuk di sudut sana. “Aneh,” batinku.
“Kenapa kamu masih keras kepala Nit? Kenapa masih di sini?”
Teriakannya membahana. Aku berharap seisi rumahku mendengar sehingga cepat pergi semua kemencekaman ini.
“Aku harus pergi kemana? Rumahku di sini. Tapi aku memang kesepian tanpa kamu. Tapi kita kan…” Tiba-tiba Lara berdiri lalu menarik tanganku.
Aku terkesiap. Jarinya, dingin menyentuh tanganku. Aku tak pernah
tahu, arwah bisa bersentuhan dengan tubuh. Kini kami berdiri.
Berhadapan. Angin menderu mengelilingi kami.
“Sejak kapan kamarku penuh angin?”
“Nita sadarlah! Kamu sudah mati! Kamu juga sudah mati! Kecelakaan
di Simpang Beringin itu sudah merenggut kita berdua dari
kehidupan dunia!”
Emosiku langsung memuncak. Kuhempas pegangan tangan Lara.
“Ra! Aku memang kehilangan kamu. Tapi bukan berarti aku mau ikut
kamu sampai ke liang kubur!”
“Kamu harus terima kenyataan ini. Kamu sudah mati!”
“Tapi kamar ini. Handphone yang selalu kupakai menelepon. Meli?”
Aku panik.
“Keluarga kamu memang sengaja membiarkan kamarmu tetap seperti
keadaan terakhir kali kamu tinggalkan. Untuk mengenang kamu.
Karena mereka terlalu mencintai kamu. Dan Meli. Dia juga sudah menyusul kita sejak sembilan bulan lalu. Sebuah sepeda motor yang ngebut di depan rumahmu merenggut nyawanya. Kamu pikir, kenapa
aku dan Meli bisa menyentuh kamu?
” Tinggal aku yang terdiam.
Hanya sunyi yang kurasa. Besoknya aku belum beranjak dari kamar. Kulihat ibuku masuk.
Seperti biasa, mengibas-ngibas debu, menyentuh aku, fotoku
tepatnya, lalu membuka jendela. Berdiri sebentar. Menanyakan pertanyaan yang jawabnya tak pernah didengarnya.
“Nyenyak tidurnya sayang? Datang lagi ya, nanti malam. Walau cuma sebentar.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar