Teruslah berjalan dalam kebenaran walau itu adalah penyebab kematianmu!!

Jumat, 24 Februari 2012

Sahabat Pelit


“Rere tuh cocoknya jadi bintang iklan layanan masyarakat Departemen Pertambangan dan Energi. Aslinya, hemat energi hemat biaya! Saking pelitnya, pacarnya ulang tahun, dikasih kado sandal jepit!”
Sabrina menggerutu sendiri, menyumpahi diri sendiri, tidak akan minta bantuan lagi pada Rere, sahabatnya. Dia tersinggung sekali karena Rere yang mengantarnya ke Gramedia, lagi-lagi menampakkan sifat aslinya. Sebenarnya, dia menyesal juga telah meminta jasa antaran Rere, tapi kalau harus naik angkot ke Gramedia, bisa-bisa dia telat ke pesta ultah Dani. Sementara untuk cari kado lain, selain buku, dia tak tahu harus memberikan apa. Yang dia tahu, Dani sepupunya, kutu buku. Harta paling berharga buatnya adalah buku. Harta? Barang berharga? Sabrina makin senewen saat kata itu terlintas di benaknya. Di antara teman-temannya, Rerelah yang paling banyak harta, barang berharga. Mulai dari ponsel, komputer, hingga mobil. Semua milik pribadi, mobil pun atas nama dia, bukan milik orangtua, seperti kebanyakan remaja. Tapi Sabrina paling tak suka dengan sikap Rere yang pelitnya selangit.
“Nggak usah pakai AC ya Sab? Biar irit aki.” Begitu kata Rere saat mengantar Sabrina ke Gramedia.
Bukan hanya AC yang dimatikan, tape mobil mewahnya pun ‘dibisukan’, dengan alasan irit. Padahal jalanan macetnya minta ampun. Kendaraan yang mengantri bahan bakar, tidak hanya dalam lokasi SPBU, tapi sampai ke paruh jalan. Belum lagi mahasiswa yang demo, menuntut tanggung jawab pemerintah atas kelangkaan BBM.
Suasana jalan seperti itu, tentulah bikin bete.
Harusnya AC mobil dihidupkan, bukan malah dimatikan lalu menggantinya dengan udara kota yang penuh polusi, dengan membuka kaca jendela mobil. Atau paling tidak, suara tape mobil dibikin menghentak. Tapi Rere dengan alasan irit, menon-aktifkan semuanya.
Sabrina sudah sering kali dibuat jengkel seperti itu, tapi dia tak bisa menegur, apalagi berterus terang pada Rere jika dia itu pelit. Sebagai sahabat, Sabrina selalu menjaga perasaan Rere. Apalagi, diakuinya pula, Rere sering membantunya dalam urusan apa pun, termasuk meminjamkan uang kalau kiriman dari orangtua telat. Rere bahkan sering mau memutihkan utang yang dipinjam Sabrina, tapi melihat Rere yang penuh perhitungan, Sabrina tetap ngotot mau membayar utangnya.
Tapi kejadian barusan, membuat Sabrina berpikir
berkali-kali untuk meminta bantuan lagi pada Rere.
Dia takut, Rere terpaksa melakukan, setiap dia minta bantuan. Kalau AC dan tape dimatikan dengan alasan irit, tentulah dia juga berat menghabiskan bahan bakar, hanya untuk mengantar dia ke Gramedia. Sabrina juga teringat pada hobi memasak Rere. Karena hobi itu, Rere sering menolak makan di luar dengan alasan lebih baik masak sendiri. Lebih higienis, lebih enak. Begitu pengakuan Rere selama ini.
Tapi alasan yang lebih cocok, kini Sabrina dapatkan. Lebih irit!
Semakin dicari, semakin Sabrina dapatkan alasan yang memberatkan Rere sebagai orang pelit. Jangan harap Rere akan pernah telat sehari, mengembalikan buku perpustakaan yang dipinjamnya, ataupun komik yang dipinjamnya dari taman bacaan. Alasannya sih, belajar
disiplin waktu, tapi ternyata karena takut keluarkan
uang percuma untuk bayar denda buku.
“Kok manyun gitu sih?”
Kiki, teman kos Sabrina, datang mengusir
kejengkelannya pada Rere.
“Pasti gara-gara Rere?” tebak Kiki.
Tebakan itu membuat kening Sabrina berlipat-lipat.
Pikirnya, jangan-jangan Kiki sering jadi korban
kepelitan Rere.
Sabrina sudah sering kali dibuat jengkel seperti itu, tapi dia tak bisa menegur, apalagi berterus terang pada Rere jika dia itu pelit. Sebagai sahabat, Sabrina selalu menjaga perasaan Rere. Apalagi, diakuinya pula, Rere sering membantunya dalam urusan apa pun, termasuk meminjamkan uang kalau kiriman dari orangtua telat. Rere bahkan sering mau memutihkan utang yang dipinjam Sabrina, tapi melihat Rere yang penuh perhitungan, Sabrina tetap ngotot mau membayar utangnya.
Tapi kejadian barusan, membuat Sabrina berpikir
berkali-kali untuk meminta bantuan lagi pada Rere.
Dia takut, Rere terpaksa melakukan, setiap dia minta bantuan. Kalau AC dan tape dimatikan dengan alasan irit, tentulah dia juga berat menghabiskan bahan bakar, hanya untuk mengantar dia ke Gramedia. Sabrina juga teringat pada hobi memasak Rere. Karena hobi itu, Rere sering menolak makan di luar dengan alasan lebih baik masak sendiri. Lebih higienis, lebih enak. Begitu pengakuan Rere selama ini. Tapi alasan yang lebih cocok, kini Sabrina dapatkan. Lebih irit!
Semakin dicari, semakin Sabrina dapatkan alasan yang memberatkan Rere sebagai orang pelit. Jangan harap Rere akan pernah telat sehari, mengembalikan buku perpustakaan yang dipinjamnya, ataupun komik yang dipinjamnya dari taman bacaan. Alasannya sih, belajar disiplin waktu, tapi ternyata karena takut keluarkan
uang percuma untuk bayar denda buku.
“Kok manyun gitu sih?”
Kiki, teman kos Sabrina, datang mengusir
kejengkelannya pada Rere.
“Pasti gara-gara Rere?” tebak Kiki.
Tebakan itu membuat kening Sabrina berlipat-lipat. Pikirnya, jangan-jangan Kiki sering jadi korban kepelitan Rere.
Banyak lagi alasan yang dikeluarkan Kiki, semuanya memberatkan Rere sebagai orang pelit. Bahkan dengan sinisnya, meski Sabrina tahu kalau Kiki mengada-ada, tentang gaya pacaran Rere yang lebih betah duduk dua-duan di teras rumah, menghitung bintang di langit, dengan alasan lebih romantis, padahal buat irit uang jalan.
“Rere tuh cocoknya jadi bintang iklan layanan
masyarakat Departemen Pertambangan dan Energi.
Aslinya, hemat energi hemat biaya! Saking pelitnya, pacarnya ulang tahun, dikasih kado sandal jepit!”
Sabrina tersenyum geli mendengar cerita Kiki yang
semakin ngawur dan bohong. Terlihat jelas kebencian di mata Kiki, atas perlakuan Rere.
Seluruh kebaikan Rere selama ini, terhapus di hati
Sabrina. Dia tak ingin lagi minta bantuan pada Rere. Dia akan belajar untuk bertahan hidup tanpa bantuan seorang Rere. Selama ini, sedikit-sedikit ngutang, sedikit-sedikit minta diantar. Padahal di balik senyum Rere mengulurkan jasa, bukan tak mungkin ada kejengkelan karena Sabrina terlalu banyak makan ongkos sebagai sahabat.
Ini minggu kedua Sabrina menghindar dari Rere. Bukan hanya menghindar dari bantuan Rere, bahkan juga dari sosoknya. Menurut Sabrina, jika terus bersama Rere, dia akan tetap mengharap dan mengharap bantuan terus.
“Sab, akhir-akhir ini kamu selalu menghindar dari
aku. Ada apa sih?”
Rere mendapatkannya di kantin sekolah yang ramainya telah reda karena sebagian siswa telah kembali ke kelas.
“Nggak ada apa-apa. Cuma mau sendiri aja,” ucap
Sabrina seadanya.
Dia tentu saja tak ingin jujur pada Rere tentang
sikapnya yang menjengkelkan. Apalagi, selama ini Rere banyak membantunya. Tapi, ya itu tadi, dia takut Rere membantunya karena terpaksa. Dia sudah tahu sikap asli Rere yang pelit, jadi pastilah semua bantuannya selama ini karena terpaksa.
“Aku yang bayarin ya?”
“Ngg…nggak usah. Entar aku yang bayar. Aku punya uang kok.”
Sabrina berdiri cepat dari bangkunya, lalu mendahului langkah Rere yang menuju ke penjaga kantin. Rere semakin merasa ada yang lain pada diri Sabrina yang dulunya biasa minta dibayarin, sekarang menolak.
“Ngomong dong, Sab! Aku tahu kamu menghindar terus dari aku. Atau kalo kamu emang ingin sendiri, sampai kapan aku harus dihindari? Sampai kapan aku dibiarkan jalan sendiri dengan alasan kamu lagi nggak butuh sahabat.”
Sabrina terdiam. Heran. Harusnya sikap dia yang
menjauh, membuat Rere senang karena tak ada lagi yang menjadi parasit pada diri Rere. Tapi ini lain, Rere merasa sangat kehilangan dengan kecuekan Sabrina.
“Atau begitu cara kamu bersahabat, hanya ingin
bersama saat butuh? Saat bisa mengatasi masalah tanpa bantuan teman, kamu milih sendiri tanpa pernah berpikir kalo aku bisa saja tersinggung bahkan marah dengan sikapmu yang seperti itu?”
Kalimat panjang Rere terdengar oleh penjaga kantin, meski pura-pura tetap sibuk mengurus kantin.
“Oouw, jadi kamu sudah mulai menghitung segala
kebaikan kamu padaku selama ini…”
“Bukan gitu, Sab!”
“Re, aku menghindar karena nggak ingin terus-terusan jadi benalu. Ngutang, minta diantar, belum lagi kalo harus ditraktir.”
Rere menggeleng. Tak mengerti, sekaligus tak menerima kalimat Sabrina barusan.
“Kenapa menggeleng? Jangan bilang kamu nggak
keberatan setiap aku minta bantuan kamu. Bukan hanya aku, Kiki dan teman-teman lain, bukannya nganggap kamu royal meski sering ulurkan bantuan. Di mata aku dan mereka kamu itu pelit, banyak perhitungan. Jangan pikir dengan banyak membantu, sikap pelitmu itu bisa menutupi, malah semakin terlihat pelit…”
“Jadi kamu juga nganggap aku pelit?”
Rere seperti tak percaya dengan jawaban yang
diberikan Sabrina, tapi itulah yang harus
diterimanya. Semua orang menganggapnya pelit, hanya karena dia berusaha memakai uang atau apa pun seperlunya.
Maksudnya untuk berhemat, tapi semua orang tetap menganggapnya pelit. Padahal dia telah berusaha seroyal mungkin, bahkan tak ambil pusing jika ada teman yang pinjam uangnya dan belum bisa bayar karena baginya keluar uang tak mengapa asal berguna bagi dirinya dan orang lain.
Atau memang kata hemat itu sudah tak ada lagi?
Pikirnya. Rere melangkah meninggalkan kantin yang di dalamnya masih ada Sabrina. Dia kehilangan sahabat lagi. Memang betul, dia pun mengaku jika dia banyak perhitungan, tapi maksud Rere baik, ingin berhemat! Tapi malah disangka pelit. Teman bahkan semua remaja seusianya menganggap urusan berhemat bukanlah urusan mereka. Itu adalah urusan orangtua karena mereka yang
cari uang. Urusan pemerintah karena harus pikirkan rakyatnya! Urusan remaja adalah foya-foya dan menikmati masa muda tanpa memikirkan jerih payah orangtua.
Tapi, karena tahu orangtuanya susah payah cari uang, jadi Rere harus berhemat. Rere menggeleng tak percaya, sekaligus tak mengerti dengan sikap
teman-temannya. Tapi, dia tak ingin berubah. Dia
tetap berpikir untuk hemat, bukan semata untuk kaya, tapi untuk belajar disiplin.
Tiba-tiba ponsel Rere berdering. Bukan SMS ataupun telepon masuk, tapi alarm reminder-nya yang mengingatkan dia untuk mengembalikan buku
perpustakaan yang dipinjamnya, sekaligus mengisi air aki mobil saat pulang sekolah. Kalau telat, bisa-bisa dia keluarkan lagi uang denda buku dan mobil rusak atau mogok di jalan, yang bisa mengeluarkan biaya tak terduga. Inikah yang dibilang pelit? Tanya batinnya lalu dijawab sendiri dengan gelengan. Ya, dia tetap kukuh pada pendiriannya untuk berhemat, meski tetap akan meminta pengertian teman-temannya. Karena dia juga yakin, dia tak akan bisa hidup tanpa bantuan orang lain, sesempurna apa pun dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar