Teruslah berjalan dalam kebenaran walau itu adalah penyebab kematianmu!!

Minggu, 12 Februari 2012

"Permainan"


Hati-hati dengan cinta, karena cinta juga dapat membuat orang sehat menjadi sakit, orang gemuk menjadi kurus, orang normal menjadi gila, orang kaya menjadi miskin, raja menjadi budak, orang pintar menjadi bodoh, jika cintanya itu disambut oleh para pecinta PALSU. Sepenggal kalimat yang pernah di ungkapkan John Maxwell di atas rasanya sangat pantas untuk menggambarkan cinta.
Saya mengenal seorang wanita yang bisa jadi sesuai dengan ungkapan Maxwell tentang pecinta palsu. Seorang wanita yang menjadikan hidupnya tidak berarti dengan pilihan hidup yang sedikit mencoreng namanya.
Mungkin bagi dirinya, hal ini hanyalah sebuah permainan yang akan membawanya menjadi orang yang semakin dikenal. Entahlah, saya sendiri tidak tahu apa maksud dari permainannya itu. Saya sendiri hanya menjadi korban daripada permainan itu.
“Sabtu malam yang menyebalkan,” itu kataku, saat seorang wanita, Jenna (bukan nama sebenarnya), membuat hatiku hancur lebur karena ulahnya yang tidak akan pernah kumaafkan. Beberapa kali dirinya mencoba kesungguhan hatiku dengan beberapa Testi (Comment) di FS yang menyatakan cinta, sayang, bahkan rindunya pada diriku yang jauh di pelosok Papua.
Aku memahami semua ini, tidak mungkin diriku akan menjadi seseorang yang spesial bagi dirinya. Dirinya tentu membutuhkan orang lain, atau teman dekat yang tinggal sama-sama dengannya yang membuatnya bahagia walau tak sebahagia yang kupikirkan ketika bermimpi diriku akan bersamanya suatu saat nanti.
Akupun memahami, kalau dirinya tentu akan menjadi sebuah misteri yang patut di pertanyakan kebenarannya. Entahlah…. Keakrabanku padanya hanyalah sebuah keakraban dengan seseorang yang misterius. “Misteri, kau telah buatku hancur lebur,” bunyi sepenggal SMS yang aku kirimkan malam minggu itu ke ponselnya.
Ponselku malam minggu itu berdering beberapa kali, membuatku agak malas untuk mengangkatnya. Entahlah…nggak mungkin kubiarkan hasratnya untuk berbicara denganku sirna begitu saja. Kuangkat ponselku dengan bermalas-malasan, tapi dari suara dan raut wajahku kurasa sudah cukup meyakinkannya bahwa aku sangat bahagia mendengar suaranya.
“Kabarmu gimana, kok nggak pernah kasih kabar lagi?” tanyanya memancing pembicaraan. “Baek, tapi sedikit menyebalkan, karena saya marah sekali pada kowe,” kataku mengalihkan segala pembicaraan manis yang telah disusunnya rapi sedemikian rupa di malam minggu itu.
Menjadi perenungan untuknya. “Kenapa… kowe marah pada saya? Masa…, kok gitu?” tanyanya dengan sedikit bercanda seakan-akan dirinya tak pernah bersalah padaku. Malam itu diriku dibuat pusing, seakan akau orang paling bodoh sedunia. Dia bersikukuh tidak akan beralih pembicaraan apabila diriku tak mengungkapkan akar duduk sebuah persoalan yang membuat aku marah padanya.
Saya sangat bersikeras untuk tak menjawabnya, lagipula ada sedikit rasa kesal karena dirinya berlaku bak seorang malaikat yang tidak pernah bersalah. “Kamu koreksi dulu, kesalahan terbesar apa yang kamu buat, sehingga membuat saya marah setengah mati dengan kowe. Saya rasa kowe bisa sadari kowe punya kesalahan kok,” terangku mantap dengan dalih tak mau menjawab pertanyaan via ponsel malam itu.
Beberapa kali aku dibuat pusing, bahkan rasanya ponselku yang selalu menjadi teman sepermainanku ingin kubanting dengan harapan agar tak perlu berbicara lagi padanya. Tak mungkin kulakukan semua itu, ponsel tidak pernah bersalah dalam duduk persoalan ini. Sudah kujelaskan berkali-kali, bahwa aku tak akan berbicara persoalan ini padanya, namun dirinya tetap bersikeras untuk mendengar langung penjelasan tentang permasalahan ini. “Cepatan bicaranya, nggak akan kuputusin obrolan ini, kalau kau tidak memberitahukan persoalan apa yang sedang terjadi antara kau dan aku,” terangnya seraya memaksa batinku agar bersura memberi jawaban padanya.
“Gimana sih cara kamu menyelesaikan sebuah persoalan dalam kehidupanmu, kalau caramu tetap begini?” tanyanya seraya memberi sebuah pancingan yang tak termakan olehku. “Saya tunggu semua masalah selesai, enak suasana hatinya, baru akan kuselesaikan semua persoalan itu,” terangku mantap menepis aura nadanya yang semakin memaksa.
Tidak pernah batinku menyerah dengan pancingan-pancingan manisnya. Bagiku, dirinya hanyalah sebuah gong yang sedang berkumandang untuk didengar suaranya oleh sedemikian banyak orang. Dirinya telah menjadi dewi yang berkhazanah elok, seakan-akan tidak pernah berdosa atau bernista, tetapi kenyataan telah memupus semua harapan ini.
Malam itu menjadi malam pergulatan batinku yang telah berdosa karena memberi hati untuk disinggahinya. Batinku berdosa, karena tanpa sepengetahuan yang di atas (God) memberikan ruang di hatiku untuk diobrak-abrik oleh seseorang misteri. “Misteri, kau akan bahagia dan senang ketika tak akan mengobrak-abrik aku lagi. Kau akan lebih senang, omong cinta, sayang, say, honey dan sejenisnya pada dia yang memang betul-betul kau cintai.”
Mungkin aku tak pantas bagimu. Mungkin aku hanyalah anak “kampungan” yang sok orang kota. Maafkan aku, kalau memang selama ini aku memakai topeng itu sehingga membuatmu terpikat padaku. Entahlah, Tuhan, Bulan, dan Bintang jadi saksi di malam itu. Antara kau dan aku, akulah yang jadi pemenangnya karena batinku tidak pernah menyerah dengan beberapa menu menggoda yang telah kau sedikian untuk merusak batinku dari persoalan ini.
“Tuhan maha adil,” begitu kataku ketika kau akhirnya paham dengan semua duduk persoalan. Tuhan tidak pernah mengijinkan kebenaran diinjak-injak oleh dusta. Sekali lagi, kumau katakan bahwa Tuhan maha adil. Dia tidak pernah menyatukan kebenaran dan dusta. Bahkan gelap dan terang tidak akan pernah bersatu. Hanya manusia seperti kau, yang selalu memaksa Tuhan untuk menyatukan yang tidak pernah bisa disatukan, untuk disatukan.
Senang rasanya, ketika kau bisa paham dengan semua ini. Senang juga, ketika kau bersedia jelaskan padaku suatu saat nanti duduk persoalan yang sebenarnya. Karena saat itu menjadi malam yang penuh misteri, ketika kau mengetahui dari teman terdekatmu tentang duduk persoalan yang sebenarnya.
Aku benci pada pendusta, aku benci pada pembohong. Aku tidak benci padamu Jenna (bukan nama sebenarnya), aku tak marah padamu namun aku lebih-lebih tak akan pernah melupakanmu, karena batin saat ini sedang terseok dengan caramu yang sedkit mendewasakanku. “Tuhan dan Jenna memberi aku sebuah pelajaran hidup yang akan kuingat sampai mati,” itu kataku seraya berbisik pada batinku yang selalu menemani aku dalam suka dan duka mengarungi kehidupan ini.
Kemana lagi batin ini akan berkelana, itu sebuah misteri yang tidak akan pernah terjawab. Hanya Tuhan pribadi yang tunggal dalam kehidupanku, dan waktu yang selalu memompa semangatku yang akan menjawab semuanya. Waktu, tetaplah temani aku untuk menunjukan bukti nyata kedewasaan lainya padaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar