Teruslah berjalan dalam kebenaran walau itu adalah penyebab kematianmu!!

Rabu, 29 Februari 2012

Vesper is interrupted by the Lord


Doa Malam yang Diinterupsi TUHAN


Bapa di surga …
Ya?

Jangan menyela. Aku sedang berdoa.
Tapi kamu memanggil-Ku.

Memanggil-Mu? Aku tidak memanggil-Mu. Aku sedang berdoa.
Bapa di surga….
Nah, ya'kan, kamu melakukannya lagi.

Melakukan apa?
Memanggil-Ku. Kamu bilang, “Bapa di surga.” Aku di sini. Apa yang ada dalam benakmu?

Lho, aku tidak bermaksud apa-apa, kok. Aku ini kan cuma sekedar mengucapkan doa malamku. Aku selalu berdoa sebelum tidur. Itu merupakan kewajibanku.
Oh, baiklah. Teruskan.

Aku mengucap syukur atas segala berkat-Mu…..
Sebentar. Berapa besar rasa syukurmu?

Apa?
Berapa besar rasa syukurmu atas segala berkat-Ku?

Aku…yah…aku tidak tahu. Aku tidak peduli. Bukankah itu memang bagian dari doa? Begitulah mereka mengajarku berdoa.
Oh, baiklah. Teruskan…

Teruskan?
Ya, teruskan doamu.

Oh, ya. Berkatilah mereka yang sakit, yang miskin dan yang menderita …
Apakah kamu bersungguh-sungguh?

Ya, tentu saja.
Apa yang telah kamu lakukan untuk itu?

Lakukan? Siapa, aku? Tidak ada, kurasa. Aku hanya berpikir bahwa semua akan menjadi baik jika Engkau yang berkuasa atas segala sesuatu di sini seperti Engkau berkuasa di atas sana, jadi manusia tidak perlu lagi menderita.
Apakah Aku berkuasa atasmu?

Hmmm, aku pergi ke gereja, aku memberi kolekte, aku tidak…
Bukan itu yang Aku minta. Bagaimana dengan tingkah lakumu? Teman-temanmu dan juga keluargamu menderita karena ulahmu. Juga caramu memboroskan uang…semuanya hanya untuk kepentingan dirimu sendiri saja. Dan bagaimana dengan buku-buku yang kamu baca?

Berhentilah mencelaku. Aku ini sama baiknya dengan orang-orang lain yang pergi ke gereja setiap hari Minggu.
Ah, maaf. Aku pikir engkau meminta-Ku untuk memberkati mereka yang berkekurangan. Agar hal itu terjadi, Aku perlu bantuan dari mereka yang memintanya……seperti kamu misalnya.

Tolong, Bapa. Aku perlu menyelesaikan doaku. Ini sudah jauh lebih lama dari biasanya.Berkatilah para misionarismu agar mereka dapat menolong orang-orang yang menderita.
Maksudmu orang-orang seperti Dion?

Dion?
Ya, anak yang tinggal di ujung jalan itu.

Dion … tapi dia itu suka merokok dan mabuk-mabukan, dan tidak pernah pergi ke gereja.
Pernahkah kamu melihat ke dalam hatinya?


Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin…
Aku melihatnya. Hatinya adalah salah satu dari hati yang paling pedih dan menderita.

Baiklah, kiranya Engkau mengutus misionaris-Mu ke sana, ya Tuhan.
Bukankah kamu yang harus menjadi misionaris-Ku, utusan-Ku? Aku rasa Aku telah menyatakannya dengan amat jelas dalam setiap Misa.

Hei, sebentar. Apa-apaan ini. Apakah ini hari “Pengkritikan- ku"? Aku ini sedang melakukan kewajibanku, melaksanakan perintah-Mu untuk berdoa. Dan tiba-tiba saja Engkau menyerobot masuk dan mulai membeberkan semua kesalahanku.
Ah, kamu memanggil-Ku. Jadi, Aku di sini. Teruskan doamu. Aku tertarik dengan bagian selanjutnya. Kamu belum mengubah susunan doamu kan? Ayo...

Aku tidak mau.
Kenapa tidak mau?

Aku tahu apa yang akan Engkau katakan.
Ayo, coba dan lihatlah.

Ampunilah segala dosaku … dan bantulah aku untuk mengampuni sesamaku.
Bagaimana dengan Billy?

Nah, betul kan. Sudah kuduga. Aku tahu Engkau akan mengungkit-ungkit masalah itu. Dengar Tuhan , ia berbohong tentang aku sehingga aku dikucilkan. Semua temanku menyangka bahwa aku ini seorang pembohong besar, padahal aku tidak melakukan apa-apa. Lihat saja, akan kubalas dia!
Tetapi, doamu? Bagaimana dengan doamu?

Aku tidak bersungguh-sungguh.
Baiklah, setidak-tidaknya kamu berkata jujur. Aku pikir kamu memang senang membawa dendammu itu kemana-mana, ya kan?

Tidak, aku tidak suka. Tetapi aku akan segera merasa puas begitu dendamku itu terbalaskan.
Kamu mau tahu suatu rahasia?

Rahasia apa?
Kamu tidak akan merasa puas, malahan akan semakin parah. Dengarkan Aku, kamu mengampuni Billy dan Aku akan mengampunimu.

Tapi Tuhan, aku tidak dapat mengampuni Billy.
Kalau begitu, Aku juga tidak dapat mengampunimu.

Sungguh, apa pun yang terjadi?
Sungguh, apa pun yang terjadi.Ah, kamu belum selesai dengan doamu. Teruskanlah.

Oh, ya …bantulah aku untuk menguasai diriku dan jauhkanlah aku dari pencobaan.
Bagus, bagus. Aku akan melakukannya. Tetapi kamu sendiri, jauhilah tempat-tempat di mana kamu dapat dengan mudah dicobai.

Apa maksud-Mu, Tuhan?
Berhentilah berkeliaran di rak-rak majalah dan menghabiskan waktumu di sana . Sebagian dari yang ditawarkan di sana , cepat atau lambat akan mempengaruhimu. Tiba-tiba saja kamu akan sudah terjerumus dalam hal-hal yang mengerikan … dan jika itu terjadi, jangan memperalat-Ku sebagai pintu keluar darurat.

Pintu keluar darurat? Aku tidak mengerti.
Tentu kamu mengerti. Kamu telah melakukannya berulang kali… kamu terjerumus dalam situasi gawat, kemudian kamu datang kepada-Ku. “Tuhan, bantulah aku untuk keluar dari masalah ini dan aku berjanji tidak akan melakukannya lagi.” Sungguh mengherankan, kekhusukan dan kesungguhan doamu meningkat drastis apabila kamu ditimpa masalah. Ingatkah kamu sebagian dari tawar-menawar yang kamu coba lakukan dengan-Ku?

Hmmm, aku tidak….Oh ya,….ketika guruku memergokiku menonton film tentang….Astaga!
Ingatkah kamu bagaimana kamu berdoa? “Ya Tuhan. Jangan biarkan dia melaporkannya pada ibuku. Aku berjanji mulai sekarang tidak akan lagi menonton film tujuh belas tahun ke atas.” Dia tidak melaporkannya kepada ibumu, tetapi kamu tidak menepati janjimu, ya'kan?

Tuhan, aku melanggar janjiku. Aku sungguh menyesal.
Baik, lanjutkan doamu.

Sebentar, Bapa. Aku ingin bertanya sesuatu kepada-Mu. Apakah Engkau selalu mendengarkan doa-doaku?
Ya, setiap kata setiap saat.

Kalau begitu, mengapa Engkau tidak pernah menjawabku sebelumnya?
Berapa banyakkah kesempatan yang kamu berikan pada-Ku? Tidak ada cukup waktu antara kata “Amin”-mu dan kepalamu menumbuk bantal. Bagaimana Aku dapat menjawabmu?Engkau dapat, jika saja Engkau sungguh menghendakinya.

Tidak. Aku dapat hanya jika “kamu” sungguh menghendakinya.
Anak-Ku, Aku selalu rindu untuk berbicara denganmu.

Bapa, maafkan aku. Maukah Engkau mengampuniku?
Sudah kuampuni. Dan terima kasih, sudah mengijinkan Aku menginterupsimu. Kadang-kadang Aku begitu rindu untuk dapat berbicara denganmu.Selamat malam. Aku mengasihimu.

Selamat malam, Bapa. Aku mengasihi-Mu juga.

Tanpamu, Bumi masih Berputar


“Nggak cuma bertengkar, Ma. Tapi kami udah putus,” jawab Mara dengan mata kosong.
MASIH sayup-sayup terdengar isak tangis Mara yang tertahan. Sebenarnya Mara ingin berteriak mengeluarkan kekesalan hatinya, tapi niat itu diurungkan juga olehnya demi dilihatnya hari telah larut. Mara tak ingin mengganggu penghuni rumah lainnya. Dengan kepala yang sedikit berat serta mata yang bengkak, Mara beranjak dari tempat tidurnya. Dipandanginya foto Ridho yang terpampang di dinding kamarnya, seorang cowok yang selama ini mengisi hari-harinya dengan kebersamaan dan cinta. Dan ketika kebersamaan itu telah tiada, Mara baru merasa sakitnya patah hati. Namun apa mau dikata, bila cinta itu tak selamanya bisa dipertahankan. Dan yang serba manis itu kini hanya menyisakan pahit empedu.
Segera Mara menurunkan foto tersebut, dikumpulkannya bersama barang- barang pemberian Ridho yang lain. Kemudian dikemas menjadi satu dan disimpannya di rak buku yang lama tak terpakai. Dengan perasaan kesal, Mara bergumam sendiri, tidak jelas, masih dengan isak tangis yang begitu menggetarkan hati. Akhirnya Mara kembali berbaring lagi ke tempat tidur, perlahan matanya mulai terkatup meski isak tangis itu masih juga terdengar lirih.
MARA masih tidur ketika suara Mama dari lantai bawah memanggil-manggil namanya agar segera bangun dan turun ke bawah. Karena sekian lama tidak ada sahutan juga, akhirnya Mama naik ke kamar Mara. Dengan hati-hati Mama membuka pintu kamar Mara. Mama heran kenapa pintu kamarnya tidak dikunci. Kemudian Mama melangkah masuk ke kamar, dilihatnya anak kesayangannya itu masih berbaring di tempat tidur. Mama tidak tega membangunkannya, karena dilihatnya Mara sangat pulas tidurnya.
Ketika Mama hendak keluar dari kamar, terdengar panggilan lirih dari Mara yang rupanya terjaga oleh suara langkah Mama.
“Ma …?”
“Eh, Mara sayang udah bangun ya? Mama kira masih tidur.
Mama nggak mau ngebangunin Mara, karena Mama tahu kemarin Mara tidurnya larut banget. Iya, kan?”
Mara menggeliat manja di atas kasur empuknya. Mara merasa kepalanya sangat pening, pasti karena jam tidur yang kurang atau mungkin karena kebanyakan menangis tadi malam. Matanya pun kelihatan bengkak. Wajahnya kelihatan lusuh dan pucat.
“Mara, kamu kenapa sayang? Tadi malam kamu nangis? Kenapa?” tanya Mama cemas.
“Nggak kok, Ma,” jawab Mara lesu.
“Nggak gimana? Kamu pucat kayak gini? Kamu sakit?” tanya Mama lagi.
Mara menggeleng lesu.
“Ayolah sayang … kamu ceritakan sama Mama. Nggak biasanya kamu kayak gini,” bujuk Mama.
Mara menghampiri Mama lalu memeluknya. Kembali Mara terisak menangis, membuat Mama makin cemas.
“Mara … kalau kamu diam dan nggak mau ngomongin masalah kamu, Mama nggak bisa bantu kamu. Jangan bikin Mama cemas dong …” Kata Mama sambil membelai lembut rambut Mara.
“Ridho, Ma …” Ucap Mara amat lirih.
“Kenapa Ridho? Kalian bertengkar?” tanya Mama dengan dahi terlipat.
“Nggak cuma bertengkar, Ma. Tapi kami udah putus,” jawab Mara dengan mata kosong.
“Kenapa? Bukankah kalian selama ini baik-baik aja. Mama nggak pernah lihat atau dengar kalian ribut-ribut. Eh … sekali dengar kok malah putus.” Mama nampak bingung.
“Selama ini memang sering ada pertengkaran kecil, Mara sering merasa kecewa tapi Mara nggak pernah ambil hati kok, Ma. Mara nggak suka ceritain masalah pribadi ke semua orang. Mara lebih senang menyelesaikannya sendiri. Mara nggak ingin …”
“Tapi Mama kan bukan orang lain, Ra?” potong Mama cepat. “Mama juga bisa jadi teman dekat kamu. Nggak baik menyimpan masalah sendiri. Kalau bisa diselesaikan sendiri sih nggak apa-apa, tapi kalau makin nambah beban kamu kan juga nggak baik. Kalau kamu mau share sama teman atau orang terdekat kamu, setidaknya kamu bisa sedikit mengurangi beban kamu,” lanjut Mama kemudian.
“Maafin Mara, Ma …” Ucap Mara sambil menundukkan wajahnya.
“Kenapa harus minta maaf sama Mama?” kata Mama sambil tersenyum. “Kalau kamu sakit dan terluka cuma gara-gara seorang cowok, malu dong! Bukankah masih banyak pilihan lain yang lebih baik. Lakukan kegiatan yang bermanfaat dan menguntungkan buat kamu. Ingat kamu baru kelas dua SMA, perjalanan hidup masih panjang. Apalagi yang namanya cinta, kamu masih bisa meraihnya. Mara, kamu pasti bisa!” Mama memberi semangat kepada Mara.
“Makasih, Ma. Mama memang Mama terbaikku. Mara akan berusaha berdiri lagi. Mara nggak ingin jatuh untuk yang kedua kalinya.” Ucap Mara sambil tersenyum tipis.
“Bagus! Ayo buruan mandi, kamu ke sekolah nggak? Jangan bilang nggak loh …” Mama beranjak dari duduknya.
“Oke, Ma …,” jawab Mara singkat. “Eh, Mama membutuhkan aku? Mama sayang sama aku?”
“Tentu aja! Kamu anak manis kebanggaan Mama! Rasa sayang Mama berani diadu dengan siapa pun di dunia ini! Apalagi dengan cowok jelekmu itu!”
Mara terperangah sebentar tapi kemudian tertawa. Mama tidak tertawa, Mama memperlihatkan ekspresi wajahnya yang makin serius.
Mara lantas beranjak dari duduknya menuju kamar mandi setelah Mama keluar dari kamarnya.
SEMUA menjadi jelas dengan kedatangan Ridho yang semula bilang tidak bisa menghadiri pesta ulang tahunnya Rima karena saat itu Ridho masih berada diluar kota. Sudah seminggu Ridho meninggalkannya karena harus mengikuti kompetisi basket antar SMA se-Jawa Barat yang diselenggarakan di Bandung. Kebetulan tim basket sekolah Ridho yang terpilih dan berhasil mewakilinya.
Selama seminggu itu hanya sekali Ridho menelpon Mara. Mara seperti merasa aneh dengan sikap Ridho. Mulai dari nada bicaranya yang selalu gugup dan berusaha mengalihkan perhatian serta setiap kali Mara ingin berlama-lama ngobrol, sampai Ridho yang terkesan kurang peduli dan ingin cepat-cepat mengakhiri telepon ketika Mara menyampaikan sebuah persoalan kecil.
Mara mencoba untuk berpikir positif, tapi dalam hati kecilnya ia merasa yakin kalau ada sesuatu dengan Ridho.
“Mungkinkah dia telah menduakan cintaku?” batin Mara.
Karena Ridho tidak bisa pulang, akhirnya Mara datang bersama Sasa dan Ratih. Tapi sesampainya disana, Mara heran bukan main karena melihat Ridho telah duduk bergerombol dengan teman-temannya.
“Mara, bukankah itu Ridho? Katamu dia nggak bisa datang tapi kok bisa ada disini?” tanya Sasa bingung.
Tak cuma Sasa dan Ratih, Mara jauh lebih bingung dibuatnya. Mara tidak habis pikir, kenapa Ridho pulang tapi tidak memberi tahu dia terlebih dahulu?
“Aku … aku … aku juga nggak tahu, Sa. Aku nggak tahu kalau Ridho bakal datang ke pestanya Rima,” jawab Mara terbata.
“Loh …? Kamu gebetannya, kan? Emang Ridho nggak ngasih tahu kamu sebelumnya?” tanya Ratih.
“Nggak. Dia malah bilang kalau nggak bisa datang karena dia masih ada satu pertandingan lagi di Bandung,” jawab Mara kemudian.
“Rima kan mantannya Ridho, jadi mana mungkin Ridho melewatkan hari spesial ini,” celetuk Sasa.
Ratih segera mencubit lengan Sasa, karena dilihatnya raut muka Mara yang merah. Mungkin marah.
Segera Mara menghampiri Ridho yang tengah asyik ngobrol dengan teman-temannya.
“Ridho, udah lama disini?” sapa Mara dingin.
Ridho kaget dengan sapaan Mara. Baru kali ini Ridho lihat wajah dingin Mara. Selama ini Mara nggak pernah marah, sekalipun Ridho sering ngeselin dan ngecewain hati Mara. Tapi kali ini …?
“Nggak terlalu,” jawab Ridho singkat, kemudian berpaling ke arah teman-temannya. “Ron, Zal, aku tinggal sebentar ya?” kata Ridho pamitan sama Rony dan Rizal.
“Jangan lama-lama, Dho!” Seru Rony
Ridho mengangguk sambil mengacungkan jempolnya. Ridho beranjak dari duduknya lalu mengajak Mara keluar dari kerumunan pesta itu. Mereka duduk di beranda depan rumah Rima. Keduanya hanya diam membisu, hanya desahan napas sesekali keluar dari bibir mereka.
“Apa kabar, Ra?” tanya Ridho memulai percakapan mereka.
“Apa kabar? Apa aku nggak salah dengar? Kata itu menjadi terasa asing di telingaku. Sepertinya kami memang benar-benar telah jauh.” Batin Mara sedih.
“Baik,” jawab Mara singkat.
Sesaat kembali mereka terdiam kembali.
“Maafin aku Ra, nggak ngasih kabar ke kamu terlebih dahulu kalau aku pulang hari ini.” Kembali Ridho memecah keheningan. “Ada hal penting yang mau aku omongin ke kamu,” lanjutnya.
Mara masih membisu. Matanya memandang kosong ke depan.
“Mara, kamu harus dengerin aku dulu. Aku nggak mau nyakitin kamu …”
Mara terhenyak. “Apa maksudmu?”
“Aku ingin kita jalan sendiri-sendiri aja.”
“Kamu pengin kita bubaran?” tanya Mara dengan mata melotot.
“Ya.”
“Kenapa? Apa salahku, Dho?”
“Kamu nggak salah, Ra … Kamu manis, baik, pintar. Siapa sih yang nggak pengin dekat ama kamu. Tapi akan lebih baik jika aku menjadi sahabat terdekat kamu. Aku nggak akan pernah bisa mencintai kamu seutuhnya. Lagian waktuku udah habis.”
“Waktu? Waktu apa? Aku makin nggak ngerti, Dho?”
“Selama ini aku telah membohongi kamu, Ra. Sebenarnya aku dan Rima belum pernah ada kata putus. Kami cuma break, introspeksi diri. Dan di sela waktuku itu, kamu datang dengan segala pesona. Nggak bisa aku pungkiri kalau aku tertarik sama kamu, aku sayang kamu tapi … kamu tau, Ra … Rima saat ini lebih membutuhkan aku. Aku akhirnya tau, ia amat sangat membutuhkan aku. Mamanya membujukku agar aku selalu menemani dan menjaganya.”
“Dan aku …?” potong Mara cepat. Tapi ia menelan kembali kata-katanya: “Bukankah aku juga membutuhkan kamu?”
“Maafkan aku, Ra …” Ridho sambil tertunduk.
Tanpa menunggu kalimat selanjutnya dari Ridho, Mara segera berlari dengan isak tangis dan kekecewaan yang sangat dalam. Ridho berusaha mengejarnya hingga ke tepi jalan, tapi Mara telah menghentikan sebuah taksi dan kemudian berlalu.
Sasa dan Ratih yang dari tadi celingukan mencari Mara ketemu dengan Ridho yang tengah duduk termangu di beranda depan.
“Dho, kamu lihat Mara nggak?” tanya Sasa.
“Mara udah pulang, Sa,” jawab Ridho singkat.
“Sendiri? Dan kamu nggak nganterin? Tega lo, Dho!” Seru Ratih kemudian.
“Kalian bertengkar? Kamu nyakitin hati Mara? Kamu ngecewain Mara!” Cecar Sasa nggak mau kalah.
“Tunggu! Aku nggak bermaksud demikian! Kalian nggak bakalan ngerti! Apa pun yang kalian pikirkan tentang aku, tolong sampaikan maafku sama Mara,” ucap Ridho dengan lesu kemudian berlalu meninggalkan Sasa dan Ratih yang masih bingung dengan apa yang terjadi.
SESAMPAINYA di sekolah, Mara telah diberondong berbagai pertanyaan oleh sahabat dekatnya, Sasa dan Ratih. Mereka mencemaskan keadaan Mara karena sejak kejadian di pesta ulang tahun Rima di akhir pekan kemarin, ponselnya sulit dihubungi. Mereka tahu, tanpa Mara cerita pun, pasti ada masalah berat.
“Ra, kamu nggak apa-apa kan?” tanya Sasa hati-hati.
“Kita udah tahu kok masalahnya. Kemarin Ridho nitip maaf buat kamu. Sori kalau aku ikut campur, kayaknya Ridho nyesel banget. Sebenarnya dia nggak ngebayangin semua akan seperti ini.”
Namun Mara tersenyum tipis pada mereka. Lalu bersenandung lirih:
Ternyata tanpamu langit masih biru
Ternyata tanpamu bunga pun tak layu
Ternyata dunia ini tak berhenti berputar
Walau kau bukan milikku …
“Nggak apa-apa kok. Kalian nggak perlu khawatir begitu. Aku berterimakasih banget kalian udah mau care sama aku. Kalian memang sahabat terbaikku. Bukankah hidup ini indah jika kita tahu cara mengisinya?” Mara memegang tangan Sasa dan Ratih dengan erat.
“Nah begitu dong Ra, karena masih banyak pilihan menantimu!” Celetuk Sasa kemudian.
“Soktoy loh!”
“Apaan tuh?” tanya Sasa dan Ratih hampir bersamaan.
“Sok tahu loh …!” jawab Mara.
Ketiganya lalu tersenyum dan tertawa tergelak. Terasa tanpa beban, dan kejadian kemarin telah terlupakan. Bel tanda masuk sekolah berbunyi, mereka bertiga bergegas menuju kelas mereka dengan ceria. Sasa dan Ratih tak tahu bahwa di dada Mara, perih dan pedih itu masih ada dan entah sampai kapan akan benar-benar sirna.

Selasa, 28 Februari 2012

Do it Right Now!


Lakukanlah Sekarang Juga !!!



Kita mungkin punya sebongkah impian indah, segudang rencana, setumpuk ide cemerlang, tetapi semua itu tidak akan menghasilkan apapun, jika kita tidak berani memulai dengan langkah pertama. Hal ini mengingatkan saya pada ciri-ciri manusia yang menurut saya ada empat tipe tentang teori dan praktek.

Tipe pertama, yaitu orang yang tidak punya teori sekaligus tidak praktek.
Orang seperti ini tidak memiliki semangat dan tidak mau belajar. Kehidupannya tanpa tujuan, tanpa gairah. Hidup hanya dijalani ala kadarnya. Inilah pilihan orang–orang gagal. Mungkin tipe ini menjadi bagian terbesar dari sebuah masyarakat yang tertinggal.

Tipe kedua, orang yang punya teori tetapi tidak praktek.
Inilah tipe orang yang senang mengumpulkan serta menyerap berbagai macam teori. Namun sayang, segudang teori yang dimilikinya, tidak mampu dipraktekan dengan tindakan nyata. Jadi, yang ada hanya teori kosong alias NATO, No Action Theori Only!

Tipe ketiga, yaitu orang yang tidak punya teori tetapi mampu praktek.
Mampu menjalankan seperti yang diteorikan orang lain. Inilah tipe orang yang berorientasi pada tindakan, mau belajar dari pengalaman, teori, maupun kebijaksanaan orang lain. Tipe orang ketiga ini mungkin pada awal melangkah akan mengalami berbagai macam gangguan, kesulitan, bahkan kegagalan. Namun dia menyadari semua itu harus dihadapi sebagai pembelajaran dan pematangan mental. Di sinilah letak para otodidak sejati yang belajar melalui keberanian tindakan.

Tipe keempat, orang yang punya teori sekaligus mampu memprakteknya.
Sudah pasti tipe ini adalah orang yang mantap dan matang mentalnya, karena tertempa oleh banyaknya problem kehidupan yang mampu dikendalikan dan diatasi. Inilah tipe orang sukses yang paling ideal. Tipe orang yang optimis, punya visi, sekaligus berani melangkah.

Ingin menjadi type yang manakah Anda? Semua pilihan tergantung di tangan Anda. Life is not theory. Life is action! Milikilah mimpi dan visi yang besar serta bertindaklah !!! Ingat iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati (Yakobus 2:26) dan perbuatan-perbuatan seseorang menggambarkan betapa besar imannya (Yakobus 2:18). Bertindaklah sekarang juga dan percayalah bahwa ketika anda tinggal di dalam Tuhan dan Tuhan di dalam anda maka apa saja yang anda perbuat pasti berhasil (Mazmur 1:3) sebab Tuhan menyertai anda kemanapun anda pergi. God bless you..