Teruslah berjalan dalam kebenaran walau itu adalah penyebab kematianmu!!

Sabtu, 25 Februari 2012

Kado


Dadanya terasa sakit. Ia merasa telah dibohongi oleh sahabatnya sendiri. Ternyata Dita tidak meminta kaos itu. Vivi sengaja membuangnya karena gadis itu tak suka dengan kado pemberiannya!
“Selamat ulang tahun, Vi!”
Vivi meringis. Minggu pagi ini memang hari ulang
tahunnya. Beberapa temannya sudah mengucapkan
selamat lewat telepon atau sms. Juga todongan
traktiran yang membuntut setelahnya.
Tadinya ia pikir Mira lupa hari bersejarahnya ini.
Vivi memang tidak mengadakan pesta. Uang tabungannya sudah ia bongkar tiga bulan lalu untuk ia sumbangkan pada saudara setanah air di Aceh dan Sumut yang dilanda musibah gempa tsunami itu. Simpanan terakhir pun ia bongkar ketika terjadi musibah lagi di Nias.
Nyatanya, Mira masih mengingatnya.
“Selamat ulang tahun, semoga panjang umur,” Mira
menyodorkan bungkusan berkover kertas kado warna-warni pelangi.
“Ini kado untukmu, semoga kamu menyukainya.”
Vivi menerimanya dengan haru. Kado pertama yang ia terima di hari ultah keenambelasnya ini. Gadis manis berlesung pipit itu membukanya kemudian. Mengeluarkan isinya yang ternyata berupa sebuah kaos berwarna merah. Ia membentangkannya. Mencermati kado pemberian Mira itu.
Ada gambar kartun besar tercetak timbul. Bahan
kaosnya tidak begitu bagus. Lagi pula, merek yang
tercetak di bagian atas punggung itu bukan merek
terkenal. Hanya menyerupai sebuah merek terkenal
yang menjadi favoritnya. Merek tiruan yang jelas
tidak bisa dipertanggungjawabkan kualitasnya.
Ekspresi muka Vivi berubah.
“Jelek, ya?” kata Mira menyadari perubahan raut
sahabatnya itu. Vivi menggeleng gugup.
“Eh… nggak, nggak. Bagus, kok. Makasih, ya,” ujarnya
sembari berusaha mengulas senyum. Kaos pemberian Mira itu ia lipat kembali. Tapi sungguh, Vivi tak bisa membayangkan bagaimana jeleknya kaos itu membungkus tubuhnya.
Meski di depan Mira ia pura-pura menyukainya, namun malamnya gadis itu berpikir keras mau diapakan kado pemberian Mira itu. Kalau cuma disimpan, bagaimana kalau sahabatnya itu menanyakan kenapa ia tak pernah memakainya?
Masalahnya, ia memang tidak menyukai kaos yang
menurutnya norak itu. Sementara mata Mira berbinar ketika memberinya kado seolah ia telah memberikan sesuatu yang hebat untuk ultah sahabatnya. Ketika malam harinya Dita, sepupu Vivi, main ke rumah, timbul ide untuk memberikan kaos itu padanya. Ia pikir, Dita pasti senang dengan pemberiannya. Anak pamannya itu memang menerimanya dengan senang hati.
Kemudian keesokan harinya Vivi mengarang cerita
untuk Mira.
“Semalam Dita, sepupuku datang. Dia minta traktiran ulang tahun karena biasanya memang begitu. Tapi kamu tahu sendiri, kan, aku lagi bokek. Terus dia melihat kaos dari kamu itu dan diminta. Yah… meski berat, aku kasihkan juga. Soalnya aku nggak tega. Dia
jarang-jarang beli baju,” ceritanya.
“Kamu nggak marah kan, Mir?”
Mira mengangguk dengan senyum tulus.
“Nggak. Nggak apa.”
“Tapi bener, aku makasih banget atas perhatian
kamu,” tambah Vivi dengan kelegaan.
“Kamu tuh Vi, kayak aku siapa aja. Nggak usah
berlebihan deh makasihnya. Aku bisa ngasih sesuatu di ultahmu juga sudah menjadi kebahagiaan tersendiri.”
Memang selama ini Mira tidak pernah memberinya kado. Vivi sendiri tidak menuntut sahabatnya itu memberi kado di ultahnya. Ia paham benar bagaimana kondisi keuangan keluarga Mira. Ayahnya cuma seorang pegawai negeri golongan rendah. Ibunya hanya beberapa kali seminggu menjadi buruh cuci di rumah tetangganya yang kaya. Vivi telah lega kini karena ia tak harus memakai kaos yang tak disukainya itu tanpa perlu membuat Mira sakit hati! Mira baru saja mengantar Yuli membeli buku. Kemudian Yuli mentraktirnya di kafe depan deretan toko di komplek Plasa Nusa Indah ini. Ia tengah mereguk jus alpokat ketika mendengar suara dari belakangnya.
Di rumahnya, Mira langsung masuk kamar. Ia menangis diam-diam. Dadanya terasa sakit. Ia merasa telah dibohongi oleh sahabatnya sendiri. Ternyata Dita tidak meminta kaos itu. Vivi sengaja membuangnya karena gadis itu tak suka dengan kado pemberiannya!
Mira sakit hati. Ketika esok harinya bertemu Vivi, gadis itu hanya diam. Bahkan ketika Vivi mencandainya seperti biasa, Mira memasang tampang dingin. Ia benar-benar tak bisa menerima perlakuan Vivi.
Awalnya Vivi tak paham dengan tingkah aneh gadis itu. Biasanya Mira tetap riang meski sedang datang bulan. Vivi tahu jadwal menstruasi sahabatnya itu. Baru setelah beberapa hari sikap Mira tetap dingin padanya, gadis itu berusaha mencari tahu apa yang salah.
“Masalah kado, begitu cerita Mira,” lapor Yuli yang memang dimintai tolong Vivi untuk mencari tahu karena Mira benar-benar tak mau bicara lagi padanya. Vivi tercenung. Ia ingat kado dari Mira di ultahnya tempo hari. “Katanya, kamu tak menghargai pemberiannya.”
Vivi memandang Yuli. “Kaos itu….”
“Jelek, kan?”
Vivi bergeming. “Diminta sepupuku….”
Yuli menggeleng. “Dita nggak minta. Dia juga nggak suka memakai kaos itu yang katanya jelek lah, norak lah, bajakan lah….”
Mata Vivi menyambar.
“Mira tahu kalau….”
“Tahu. Kebetulan pas Dita sedang membicarakan kaos itu bareng teman-temannya, kami berada di kafe yang sama, bahkan di meja yang berdekatan.”
Vivi diam, masygul. Rasa bersalah mendera batinnya. Vivi tahu, Mira pasti telah berusaha menyisihkan uang sakunya untuk membelikan kado itu. Sahabatnya itu pasti juga telah berusaha memilih yang terbaik yang bisa dibelinya. Dan pilihan warna merah, bukankah itu warna kesukaannya? Dan Mira mengingatnya.
Lagi pula, ketika teman-temannya lain hanya mengucapkan selamat ultah dan diekori todongan permintaan traktiran, Mira sama sekali tidak meminta apapun, bahkan memberinya kado!
“Aku musti bagaimana, Yul?”
Mira melangkah memasuki ruang kelas dengan kepala menunduk agar tidak bersirobok dengan mata Vivi. Sudah beberapa hari ini ia pindah duduk di sebelah Yuli yang biasanya duduk sendirian sejak kepindahan teman duduknya sebulan lalu. Ketika hendak memasukkan tas bahunya ke laci, ia merasai sesuatu menahannya.
Gadis itu menarik kembali tas bahunya dan memeriksa laci mejanya. Tangannya terulur, menemukan sebuah kotak kardus. Ada secarik kertas tertempel di atasnya.
Tak ada momen bersejarah hari ini
tapi setiap hari adalah bersejarah bersamamu
karena persahabatan kita membuat tiap hari istimewa maukah memaafkanku?
Mira membuka tutup kotak. Menemuka foto Vivi dengan tampang yang dibuat sejelek mungkin. Sama jeleknya dengan kaos merah bergambar kartun besar bertuliskan Anak Gaul itu. Ia tak bisa menahan senyumnya.
Gadis itu mengangkat muka. Menemukan seringai Vivi yang menyadarkannya bahwa di sisi lain kesalahan sahabatnya, ia banyak memberi arti dalam kehidupan Mira.
Ah, sebenarnya Mira juga sudah kangen bercanda dengan Vivi lagi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar