Teruslah berjalan dalam kebenaran walau itu adalah penyebab kematianmu!!

Senin, 27 Februari 2012

Cinta yang Sesungguhnya


Jamal jadi salah tingkah. Sepertinya Jamal menyadari kesalahannya. Heti masih menunggu beberapa saat untuk Jamal meralat lagi perkataanya, tapi Jamal memang tak mau melakukannya.

“Don, kita duduk di sana, yuk.” Heti menunjuk sepetak

taman yang dikelilingi pagar besi. Di taman itu

terdapat sebuah bangunan berukuran kecil berbentuk

kotak yang di atasnya menempel empat patung pahlawan

yang berasal dari daerah ini di masa Penjajahan

Belanda.

“Yuk.” Doni mendorong sepeda motor yang mesinnya

telah mati itu ke pinggir dan menstandarkannya. Kedua

muda-mudi ini pun pergi menuju bangunan itu. Lewat

pintu pagar yang dibiarkan terbuka mereka masuk. Pada

tonjolan semen yang memagari bunga-bunga dan tepat

berada di bawah bangunan itu, keduanya duduk melepas

lelah. Pinggang keduanya terasa pegal setelah hampir

dua jam dengan mengendarai sepeda motor mengelilingi

kota kecil ini.

“Kamu haus?” Doni menatap wajah Heti.

Heti mengangguk.

“Tunggu di sini.” Bergegas Doni pergi.

Baru juga Doni melangkah beberapa langkah Heti

bertanya, “Mau ke mana?”

Tanpa menghentikan langkah kepala Doni menengok.

“Beli minuman!”

Heti menatapi berpasang-pasang muda-mudi yang lalu

lalang dengan bergandengan mesra melintas tak jauh

dari taman tempatnya duduk. Pada malam Minggu,

alun-alun ini oleh para remaja yang kasmaran memang

dijadikan sebagai tempat memadu kasih. Mungkin alasan

para remaja memilih tempat ini, karena tempat ini

cukup nyaman dan jajanannya murah meriah. Sedangkan

jika berpacaran di kafe-kafe harus memesan minuman

atau makanan yang harganya lumayan mahal.

Tak begitu lama, Doni sudah kembali dengan dua

plastik es teh botol di kedua tangannya. Doni

menyerahkah seplastik pada Heti. Heti menerimanya dan

lewat sedotan langsung meminumnya. Doni duduk di

sebelah Heti sambil meminum es teh botol juga.

Keduanya tampak asyik menghilangkan rasa haus

masing-masing tanpa sepatah kata pun yang terucap.

Namun, dalam diamnya itu, sesungguhnya Doni tengah

merenungi arti kebersamaanya selama hampir satu bulan

ini bersama Heti.



Sebenarnya, ingin rasanya Doni menanyakannya pada

Heti, tapi keberanian untuk itu tak kunjung hadir.

Ya, Doni memang benar-benar tak mengerti mengapa

perkenalannya dengan gadis secantik Heti sebulan lalu

begitu mudahnya. Semua berawal dari Heti yang sebulan

lalu mencari alamat kos teman satu sekolahnya dan

nyasar ke rumah Doni. Doni yang kebetulan tahu alamat

yang disebutkan Heti langsung mengantar Heti ke

tempat kos tersebut yang memang berada di

perkampungan tempat Doni tinggal. Setelah sampai di

tempat kos itu, Heti mengucapkan terima kasih dan

memperkenalkan diri. Doni pun menyebutkan namanya.

Sebelum Doni kembali ke rumahnya, Heti memberikan

nomor telepon rumahnya dan meminta Doni jika punya

waktu meneleponnya. Selama beberapa hari, Doni

mempertimbangkan menelepon Heti atau tidak. Tapi

akhirnya, Doni memutuskan untuk menelepon Heti dengan

berlagak menanyakan kabar Heti. Dan di telepon itulah

Heti meminta pada Doni diajak jalan-jalan. Heti

mengatakan tidak mempunyai teman cowok. Walau tidak

begitu percaya dengan pendengaranya Doni pun

menyetujuinya. Heti meminta Doni menjemputnya di

sebuah tempat. Berawal dari itulah selama sebulan

ini, Heti dan Doni lebih dari sepuluh kali

menghabiskan waktu malam mereka berdua.

“Abis ini kita ke mana lagi?” tanya Heti dengan

menatap wajah Doni. Doni yang tengah melamun seraya

meminum es teh botol ini sedikit terkejut karena

pertanyaan itu.

“Apa?”

“Abis ini kita ke mana lagi?” ulang Heti.

“Kita pulang aja, ya?”

“Kok buru-buru? Ini kan malam Minggu.”

“Udah malem. Aku takut orangtuamu mengkhawatirkanmu.”

Heti menatap mata Doni yang tengah menatapnya. Dari

sorot mata Doni itu, Heti menemukan kesungguhan dari

ucapan Doni barusan. Heti merasakan Doni sebagai

cowok yang pengertian.

“Oke deh kita pulang.”

Doni mendahului bangkit. Heti mengikuti. Keduanya

berjalan menuju sepeda motor yang terparkir tak jauh

dari tempat itu.

Heti benar-benar dalam keadaan bingung. Pasalnya, jam

tujuh malam nanti, Jamal, kekasihnya, minta ketemuan

di GR Ciceri untuk nonton konser Radja. Padahal, pada

jam yang sama,



Heti juga punya janji mengantar Doni ke rumah sakit

menengok kawannya yang dirawat karena tabrakan.

Sebenarnya, Heti sudah menolak keinginan Jamal itu,

tapi Jamal bersikeras agar Heti datang. Jamal

mengancam putus jika Heti sampai tak datang. Selama

sebulan ini, Jamal memang sudah terlalu sabar

menghadapi sikap Heti yang seringkali membatalkan

janjinya. Heti pun menyadari itu. Selama sebulan ini,

setiap kali Doni mengajaknya keluar, Heti pasti

membatalkan janjinya terhadap Jamal. Ya, ini semua

dilakukannya bukan lantaran Heti sudah tak cinta lagi

pada Jamal, tapi karena ia sudah berjanji dengan

Seruni, sahabatnya yang juga adik kandung Doni, untuk

menemani selama sebulan ini ke mana pun Doni minta

ditemani tanpa boleh menolak. Dan sebagai imbalannya,

Heti menerima uang di muka sebesar dua ratus ribu.

Seruni melakukan itu karena Seruni tak ingin melihat

kakaknya terus-terusan murung akibat dikhianati

kekasihnya yang pacaran lagi. Makanya, Seruni

membuatkan skenario perkenalan Jamal dan Heti. Seruni

berharap luka hati kakaknya itu dapat terobati dengan

kehadiran gadis secantik Heti.

Sebenarnya, Heti ingin menolak uang pemberian Seruni

yang sebesar dua ratus ribu itu. Karena Heti pikir,

untuk membantu sahabat tak perlu pamrih. Tapi, Seruni

terus memaksanya untuk menerima uang itu. Seruni

beralasan, uang itu bukan bayaran tapi wujud terima

kasihnya. Tapi, itu kan hanya kemasan bahasa saja,

intinya tetap sama. Heti yang kebetulan memang tengah

memiliki hutang akibat menjatuhkan HP kawanya hingga

rusak, menerima juga uang itu dan uang itu ia gunakan

untuk membetulkan HP tersebut.

Saat Doni datang dengan motor bebeknya di depan

rumah Heti, Heti sudah rapi berpakaian dengan duduk

di ruang teras. Namun, sampai saat ini Heti masih

bingung untuk menetukan pilihan, mengantar Doni ke

rumah sakit atau memenuhi keinginan Jamal menonton

konser Radja. Jika mengantar Doni ke rumah sakit,

sebagai resikonya, Heti harus rela putus dengan

Jamal, sedangkan jika memenuhi keinginan Jama,l

berarti Heti mengingkari janjinya pada Seruni. Ah,

Heti benar-benar bingung.




Heti bangkit menghampiri Doni. Kebingungan masih

terlukis di wajahnya. Doni menangkap juga pancaran di

wajah Heti itu.

“Kamu kenapa?” tanya Doni menyelidik.

“Enggak kok, enggak kenapa-napa.”

“Ada sesuatu yang membebani kamu?”

Heti mencoba tersenyum. “Enggak ada apa-apa, kok,

Don. Aku hanya bingung nyari cincin emasku.

Sepertinya aku lupa naro.”

“Apa kita cari dulu?”

“Enggak usah, deh, nanti juga ketemu.” Heti naik di

boncengan.

“Kamu udah pamit dengan kedua orangtuamu?”

Heti mengangguk. Ya, setiap kali Doni hendak pergi

bersama Heti, Doni selalu menanyakan hal ini.

Doni menarik gas motornya. Motor itu pun melaju

menyusuri gang menuju jalan raya.

Selama dalam perjalanan menuju rumah sakit, Heti

masih bingung. Sungguh ia pun tak ingin sampai putus

dengan Jamal hanya gara-gara hal seperti ini. Ya,

bagaimana pun Heti memang mencintai Jamal. Tiba-tiba

saja di benak Heti muncul sebuah rencana.

Heti menepuk bahu Doni. “Don, bisa antar aku sebentar

enggak?”

“Ke mana?”

“Ke GR Ciceri.”

Doni mengangguk. Tanpa banyak tanya lagi, Doni

membelokkan laju motornya menuju GR Ciceri.

“Berhenti di sini, Don.”

Doni menuruti keinginan Heti dengan mengerem

motornya. Heti melompat turun.

“Tunggu di sini, ya, Don.”

Doni mengangguk. Bergegas Heti pergi menuju suatu

tempat berniat menemui Jamal.

Di kawasan GR telah dipenuhi ratusan bahkan mungkin

ribuan calon penonton yang sembilan puluh persennya

terdiri dari usia remaja. Heti berhenti, kepalanya

clingukan. Belasan meter di depan orang yang

dicarinya tengah duduk di bangku penjual makanan.

Segera Heti menghampirinya.

“Mal,” pangil Heti.

Yang dipanggil menolehkan kepalanya. Senyumnya mekar.

“Kukira kamu enggak datang.”

“Justru aku datang ke sini ingin menjelaskan sesuatu

sama kamu.”

“Menjelaskan apa lagi?” Dahi Jamal berkerut.

“Sorry, ya, Mal, aku enggak bisa ikut nonton konser,

aku harus nengokin sahabatku yang tabrakan dan kini

tengah dirawat di rumah sakit.” Heti memasang mimik

wajah memelas. Dengan begitu, ia berharap Jamal mau

mengerti.

“Aku tuh udah beli karcis dua, Het. Nengoknya nanti

aja kan bisa.”

“Mal… luka sahabatku itu parah, aku takut….”




“Keburu meninggal?” potong Jamal. “Kalau keburu

meninggal itu namanya takdir. Dan kamu ditakdirkan

untuk tidak menengoknya.”

Heti tak mengira Jamal sebegitu egoisnya. Percuma

saja Heti berbohong dengan mengatakan yang tabrakan

sahabatnya. Ternyata, Jamal tak memiliki keperdulian

pada sesama!

“Udah telat lima menit nih, yuk.” Jamal menarik

lengan Heti menuju pintu masuk gedung tempat konser

Radja yang sebentar lagi dimulai itu. Dan Heti hanya

bisa menurut tanpa dapat berbuat apa-apa lagi, hanya

batinnya yang mengkhawatirkan Doni. Sementara

titik-titik air dari langit mulai jatuh membasahi

bumi yang kian lama kian membesar. Heti berharap Doni

pulang karena hujan ini.

Pada pukul sembilan konser Radja selesai. Para

penonton berdesakkan keluar dari gedung. Begitupun

dengan Heti dan Jamal. Sesampainya sepasang kekasih

ini di luar keadaan telah becek dan di jalanan yang

berlubang tergenangi air. Saat sepasang kekasih ini

berada di dalam gedung menonton konser Radja hujan

deras memang turun.

“Hai, Jamal!”

Jamal yang tengah menggandeng mesra Heti menolehkan

kepalanya ke arah suara yang memanggilnya. Heti pun

melakukan hal yang sama. Berjarak sekitar lima

meteran seorang gadis berdiri dengan tersenyum manis

pada Jamal. Jamal pun balas tersenyum. Gadis itu

berjalan menghampiri.

Heti memperhatikan gadis itu dari kaki sampai kepala.

Gadis itu benar-benar cantik seperti anak indo.

“Kamu masih ingat aku?” ucapnya saat telah berada di

dekat Jamal.

“Tentu saja aku ingat.”

Mendengar perkataan Jamal senyum gadis itu makin

mekar.

“Oh iya, kamu ke sini dengan siapa?” tanya Jamal

menyadari gadis itu hanya sendirian.

“Sendiri.”

“Kok sendirian?”

“Iya… sebenarnya aku tuh ke sini nyariin kamu. Tadi,

sekitar pukul tujuh aku nelepon ke rumahmu. Kata

orang rumah, kamu ke sini. Ya, aku ke sini nyari kamu

dan aku juga nonton konser.”

“Kamu masih nyimpen nomor telpon rumahku rupanya,”

ucap Jamal pada raut wajahnya tergambarkan

kebanggaan.

“Ini….” Gadis itu menunjuk Heti.

“Temen,” potong Jamal.

“Apa!” Heti benar-benar tak terima dibilang temen di

depan gadis cantik itu.




Ditatapnya wajah Jamal lekat. Jamal jadi salah

tingkah. Sepertinya, Jamal menyadari kesalahannya.

Heti masih menunggu beberapa saat untuk Jamal meralat

lagi perkataanya, tapi Jamal memang tak mau

melakukannya. Mungkin karena berada di depan gadis

cantik ini, Jamal tak mau melakukannya. Dengan hati

hancur, Heti pergi meniggalkan tempat itu.

Heti berjalan tergesah menuju jalan raya. Ia

benar-benar tak mengira Jamal akan berbuat seperti

itu hanya karena di depan seorang gadis cantik.

Tiba-tiba saja sebuah suara memangil namanya, “Heti!”

Heti menoleh. Di sebuah halte Doni tengah duduk. “Oh,

Tuhan, apakah di tempat itu ia duduk menungguku?”

batin Heti. Pukul tujuh tadi ia memang meminta Doni

menunggunya di sekitar tempat ini. Heti segera

berjalan menghampiri Doni. Doni pun segera bangkit

dari duduknya.

“Sedang apa kamu di sini, Don?” tanya Heti masih

belum mengerti. Matanya menatap wajah Doni, yang

masih menyisakan rona kecemasan.

“Aku menungumu di sini.”

“Kenapa masih menungguku?” Heti benar-benar tak

mempercayai kekonyolan Doni yang demi menunggunya

rela berada di tempat ini selama dua jam.

“Sebenarnya, aku sudah sejak tadi ingin pergi, tapi

saat perginya kamu kan bersamaku. Nanti apa yang akan

aku pertanggungjawabkan di depan kedua orangtuamu

jika terjadi apa-apa. Terlebih aku memang ingin

memastikan tak terjadi apa-apa dengan kamu.” Sisa

kecemasan di wajah Doni mulai memudar berganti dengan

rona keceriaan.

“Sebegitu bertanggungjawabnya dan perhatiannya kamu,

Don,” jerit Heti dalam hati. Tanpa sadar, ia peluk

tubuh Doni. Namun, segera ia melepaskan kembali

pelukannya, karena pakaian Doni lembab. “Kenapa

bajumu agak basah?”

“Tadi, saat hujan gerimis aku pergi mencari kamu, aku

kawatir terjadi apa-apa dengan kamu.”

“Tentu saja kamu tak ‘kan menemukan aku, karena aku

berada di dalam gedung menonton konser. Maafkan aku,

Don,” sesal Heti dalam hati. Heti pun kembali memeluk

Doni erat-erat tak peduli pakaian Doni yang lembab.

Perlahan air matanya luruh bersama cintanya pada Doni

yang mulai tumbuh. Dan dalam hatinya, Heti berkata,

“Ni, mulai saat ini cintaku pada Doni bukanlah sebuah

sekenario yang kamu buat, tapi cinta yang

sesungguhnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar