“Rasanya aku tak sabar ingin menyumpahserapahi kekasih gelap mama, Dis,” kata Alin dengan kegeraman teramat.
Puber ke dua! Pikiran itu terlintas begitu saja di benak Alin. Ya, pasti. Kalau bukan puber kedua, adakah dugaan lain yang lebih tepat? Gadis itu menggeleng sendiri. Tidak ada. Jadi kesimpulan itu menjadi bulat: mama tengah mengalami puber kedua.
Alin mendesah kecewa. Mama yang selama ini dianggapnya sebagai ibu yang paling hebat, ternyata bukan tanpa cela. Bahkan tingkah mama ini lebih buruk dari ibu teman-temannya. Mama memang tidak suka ngerumpi, tidak sewenang-wenang memperlakukan anak, tidak kolot, tidak … tapi pengkhianat! Adakah yang lebih buruk dari itu? Mama tidak saja mengkhianati papa, tapi juga anak-anaknya!
“Kok melamun, Lin?” teguran Tante Rina, mamanya Dista, mengagetkan Alin. Gadis itu buru-buru mengulas senyum. “Bagaimana kabar mamamu?” tanya Tante Rina sembari duduk di sebelah Alin. Saat ini dia memang tengah menunggu Dista di rumah teman sekolahnya itu. Alin ingin mencurahkan kegusaran di hatinya pada Dista. Namun kata mamanya, Dista sedang disuruh membeli lotion penolak nyamuk di toko ujung jalan.
“Emmm … baik, Tante,” sahut Alin.
“Masih sibuk dengan kateringnya?”
Kepala Alin terangguk.
“Tante salut sama mamamu itu. Sejak dulu dia memang tak suka menganggur,” kenang Tante Rina. Alin tahu Tante Rina adalah teman sekolah mama dulu. Mama pernah bercerita. “Papamu beruntung menikah dengannya,” lanjutnya.
Beruntung? Dada Alin hendak berontak. Mama memang wanita hebat. Bukan saja beliau masih mau mengelola usaha meski gaji papa lebih dari cukup. Bukan saja mampu membagi waktu untuk memperhatikan anak-anaknya. Namun juga mampu memainkan sandiwara dengan sempurna!
Gelegak hati Alin menggumpal.
“Itu Dista,” Tante Rina menunjuk Dista dengan isyarat. “Tante tinggal ke dalam ya?” pamitnya setelah menerima lotion penolak nyamuk dari Dista. Alin mengangguk.
Dista langsung bisa merasai ada yang tidak beres begitu memandang muka keruh Alin. Dia tidak berceloteh dan bercanda seperti biasanya, melainkan memandang penuh sahabatnya itu. “Ada apa?” tanya Dista sembari duduk di tempat yang ditinggalkan mamanya.
“Mama…,” Alin berkata dengan magma yang nyaris tak mampu lagi dia tahan. Dista merelakan bahunya sebagai tempat Alin menumpahkan emosinya. Membiarkan gadis itu menangis dalam rengkuhannya. “Mama pengkhianat…,” ujar Alin di sela isak tangisnya. Lalu meluncurlah cerita dari bibir Alin.
Awalnya Alin memakai HP mama yang tergeletak di atas meja untuk mengirim sms pada Indra, ketua kelompok KIR, tanpa sepengetahuan beliau. Ponsel Alin sendiri tengah kehabisan pulsa. Setelah laporan pesan terkirimnya dia hapus, terpampang sebuah pesan romantis seperti pesan-pesan yang dulu sering Alin terima dari Adib, yang ternyata gombal belaka. Pesan romantis dari seseorang yang mama sebut sebagai ‘Cinta’!
‘Aku juga tak sabar melewati hari tanpamu, Sayang.
Pinginnya meninggalkan semua rutinitas dan melewati seluruh hari bersamamu. Aku sayang kamu’,
Begitu kurang lebih pesan yang terbaca. Alin sempat terhenyak tak percaya. Dan tanpa sepengetahuan mamanya pula, gadis itu membuka beberapa SMS lain yang isinya senada, bahkan beberapa ada yang vulgar. Alin membacanya dengan jijik. Rasanya dia ingin membanting benda itu.
“Papamu sudah kau beri tahu?” tanya Dista. Alin menggeleng.
“Aku tak tahu bagaimana mengatakannya. Aku takut mereka bercerai. Aku tak ingin dihadapkan pada pilihan kehilangan salah satunya,” kata Alin. Kepala Dista terangguk mengerti.
“Apa yang harus kulakukan, Dis?” tanya Alin. Pertanyaan yang sudah Dista duga dan dia tak tahu bagaimana menjawabnya. Gadis itu sama sekali tak bisa membayangkan hal terbaik yang bisa dia lakukan jika mendapati hal serupa.
“Bersikaplah wajar untuk sementara, mungkin. Hingga kita bisa benar-benar memikirkannya secara jernih,” jawab Dista. “Kau bisa kan, Lin?”
Alin menghela napas dalam. Dadanya sedikit lega setelah membagi beban itu pada Dista. Dalam hati dia bersyukur masih memiliki seorang sahabat yang bisa menjadi tempatnya berkeluh. Meski dia sedikit ragu bagaimana bisa bersikap wajar menghadapi kenyataan ini. Bagaimana dia bisa berpura-pura tak mengetahui apa pun di hadapan mama.
“Jangan berandai yang bukan-bukan, Lin,” kata Arul, kakaknya yang kuliah di kota lain menanggapi pertanyaan ‘bagaimana seandainya’ yang ditanyakan Alin di telepon.
“Mama nggak mungkin mengkhianati kita,” tandasnya. Keyakinan yang membuat Alin urung bercerita tentang pesan romantis di ponsel mama.
Beberapa hari ini Alin memang menahan diri untuk tidak mengungkit soal itu di hadapan papa. Juga di hadapan mama. Dia hanya mencoba menghindari kontak dengan wanita itu sedapat mungkin agar kegusarannya tidak tercium.
Juga masih mencuri baca pesan-pesan di HP mama dari pengirim berinisial Cinta itu. Seperti sekarang….
‘Bagaimana kalau nanti siang kita ketemu di kafe yang dulu? Nostalgia. Ingat kafe romantis di ujung jalan dekat PDAM itu, kan? Dulu kita sering rame-rame ke sana bareng teman-teman sekelas’
Nostalgia. Berarti kekasih gelap mama adalah seorang yang pernah mempunyai hubungan dengan wanita itu. Seorang dari masa lalu mamanya. Mungkin mantan kekasih mama waktu masih muda.
Eureka! Alin memperoleh ide untuk memergoki mereka. Dia langsung ke tempat Dista setelah membaca dan menyimpan nomor pengirimnya.
“Rasanya aku tak sabar ingin menyumpahserapahi kekasih gelap mama, Dis,” kata Alin dengan kegeraman teramat.
“Sebaiknya jangan, Lin,” cegah Dista. “Bagaimanapun, harga diri keluargamu menjadi taruhannya.”
“Tapi laki-laki ini….”
“Dengan memergoki mereka saja, aku rasa mamamu akan menyadari kesalahannya. Dan Arul maupun papamu tak perlu tahu bahwa orang tercinta mereka pernah tergelincir ke jalan yang salah.”
“Aku tak tahu apakah aku bisa memaafkan….”
“Aku tak mau menemanimu kecuali kau yakin bisa menguasai diri,” sikukuh Dista.
Alin menghembuskan napas berat.
Ditemani Dista, Alin mengawasi kafe romantis dari seberang jalan. Mereka berlindung pada almari display toko sekaligus warnet itu.
Mama lebih dulu sampai di sana. Mengenakan celana panjang dan kaos berkerah. Kerudungnya berwarna senada dengan pakaiannya. Alin muak mendapati mama selayaknya gadis belasan tahun yang tengah jatuh cinta. Padahal sudah memiliki dua anak yang telah beranjak remaja.
Wanita itu duduk menghadapi meja sendirian. Sesekali dia tampak bercakap dengan pemilik kafe. Dada Alin sudah berdegup kencang. Dia membayangkan apa yang hendak dilakukannya nanti setelah kekasih gelap mama datang.
Beberapa menit berlalu. Tiba-tiba mata Alin menangkap sesosok laki-laki yang teramat di kenalnya. Papa. Laki-laki itu baru saja turun dari mobil angkutan umum. Papa tidak membawa mobilnya. Hampir saja Alin berteriak memanggil papanya agar tidak melihat mama di kafe itu. Tapi terlambat. Papa telah sampai di ambang pintu kafe.
Mungkinkah papa juga telah mengetahui perselingkuhan mama? Dan seperti halnya Alin, mungkin laki-laki itu tahu mama hendak bertemu kekasih gelapnya di sana? Dada Alin bergetar. Dicengkramnya Dista dengan was-was. Bagaimanapun. Alin tak ingin melihat orang tua terkasihnya bertengkar di tempat umum.
Papa duduk di hadapan mama. Laki-laki itu sepertinya bisa mengontrol diri. Ah, papa memang selalu bijak menyikapi segala hal. Kearifan yang selalu ingin Alin tiru.
Mereka tampaknya tidak bertengkar. Alin tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun dia bisa melihat mereka tertawa bersama. Ataukah mereka tengah sama-sama melakoni sandiwara? Mama dengan aktingnya seolah tidak tengah menunggu siapapun di kafe itu, dan papa dengan kepura-puraannya seolah tak tahu penghianatan Mama?
Bagaimana kalau papa memang tak tahu? Alin menelan ludah. Dia berpikir, andai saja ketika papa datang, laki-laki yang mama simpan nomornya dengan nama “Cinta” itu telah datang. Mungkin akan ada pertengkaran. Tapi jika itu menjadi penyelesaian yang terbaik dari pada kepura-puraan?
Andai saja….
Jemari Alin membuka pouch dipinggangnya. HP yang telah dia isi pulsa hasil bongkar tabungannya itu dia keluarkan. Laki-laki kekasih gelap mama mungkin telah melihat papa hingga tak berani menampakkan muka.
Alin menghubungi nomor yang telah disimpannya. Menunggu teleponnya diangkat. Dia teramat ingin memaki perusak rumah tangga orang itu.
“Halo….”
Tersambung. Tapi suara itu….
“Ada apa Alin?” Suara papa! Alin tak mengerti. Sedetik dia merasa mungkin salah memencet nomor. Sepasang matanya yang tengah mengawasi kafe romantis mendapati papa tengah memegang HP di sisi kepalanya.
“Papa?” Suara Alin serak oleh cacimaki yang tertahan. “Papa punya nomor baru?”
“Iya. Ada apa?”
Alin menggeleng tak mengerti. Dia tak tahu apakah harus kecewa atau bahagia. Alin hanya merasa teramat tak
mengerti. Atau, orang tua seringkali memang susah dimengerti?
Puber ke dua! Pikiran itu terlintas begitu saja di benak Alin. Ya, pasti. Kalau bukan puber kedua, adakah dugaan lain yang lebih tepat? Gadis itu menggeleng sendiri. Tidak ada. Jadi kesimpulan itu menjadi bulat: mama tengah mengalami puber kedua.
Alin mendesah kecewa. Mama yang selama ini dianggapnya sebagai ibu yang paling hebat, ternyata bukan tanpa cela. Bahkan tingkah mama ini lebih buruk dari ibu teman-temannya. Mama memang tidak suka ngerumpi, tidak sewenang-wenang memperlakukan anak, tidak kolot, tidak … tapi pengkhianat! Adakah yang lebih buruk dari itu? Mama tidak saja mengkhianati papa, tapi juga anak-anaknya!
“Kok melamun, Lin?” teguran Tante Rina, mamanya Dista, mengagetkan Alin. Gadis itu buru-buru mengulas senyum. “Bagaimana kabar mamamu?” tanya Tante Rina sembari duduk di sebelah Alin. Saat ini dia memang tengah menunggu Dista di rumah teman sekolahnya itu. Alin ingin mencurahkan kegusaran di hatinya pada Dista. Namun kata mamanya, Dista sedang disuruh membeli lotion penolak nyamuk di toko ujung jalan.
“Emmm … baik, Tante,” sahut Alin.
“Masih sibuk dengan kateringnya?”
Kepala Alin terangguk.
“Tante salut sama mamamu itu. Sejak dulu dia memang tak suka menganggur,” kenang Tante Rina. Alin tahu Tante Rina adalah teman sekolah mama dulu. Mama pernah bercerita. “Papamu beruntung menikah dengannya,” lanjutnya.
Beruntung? Dada Alin hendak berontak. Mama memang wanita hebat. Bukan saja beliau masih mau mengelola usaha meski gaji papa lebih dari cukup. Bukan saja mampu membagi waktu untuk memperhatikan anak-anaknya. Namun juga mampu memainkan sandiwara dengan sempurna!
Gelegak hati Alin menggumpal.
“Itu Dista,” Tante Rina menunjuk Dista dengan isyarat. “Tante tinggal ke dalam ya?” pamitnya setelah menerima lotion penolak nyamuk dari Dista. Alin mengangguk.
Dista langsung bisa merasai ada yang tidak beres begitu memandang muka keruh Alin. Dia tidak berceloteh dan bercanda seperti biasanya, melainkan memandang penuh sahabatnya itu. “Ada apa?” tanya Dista sembari duduk di tempat yang ditinggalkan mamanya.
“Mama…,” Alin berkata dengan magma yang nyaris tak mampu lagi dia tahan. Dista merelakan bahunya sebagai tempat Alin menumpahkan emosinya. Membiarkan gadis itu menangis dalam rengkuhannya. “Mama pengkhianat…,” ujar Alin di sela isak tangisnya. Lalu meluncurlah cerita dari bibir Alin.
Awalnya Alin memakai HP mama yang tergeletak di atas meja untuk mengirim sms pada Indra, ketua kelompok KIR, tanpa sepengetahuan beliau. Ponsel Alin sendiri tengah kehabisan pulsa. Setelah laporan pesan terkirimnya dia hapus, terpampang sebuah pesan romantis seperti pesan-pesan yang dulu sering Alin terima dari Adib, yang ternyata gombal belaka. Pesan romantis dari seseorang yang mama sebut sebagai ‘Cinta’!
‘Aku juga tak sabar melewati hari tanpamu, Sayang.
Pinginnya meninggalkan semua rutinitas dan melewati seluruh hari bersamamu. Aku sayang kamu’,
Begitu kurang lebih pesan yang terbaca. Alin sempat terhenyak tak percaya. Dan tanpa sepengetahuan mamanya pula, gadis itu membuka beberapa SMS lain yang isinya senada, bahkan beberapa ada yang vulgar. Alin membacanya dengan jijik. Rasanya dia ingin membanting benda itu.
“Papamu sudah kau beri tahu?” tanya Dista. Alin menggeleng.
“Aku tak tahu bagaimana mengatakannya. Aku takut mereka bercerai. Aku tak ingin dihadapkan pada pilihan kehilangan salah satunya,” kata Alin. Kepala Dista terangguk mengerti.
“Apa yang harus kulakukan, Dis?” tanya Alin. Pertanyaan yang sudah Dista duga dan dia tak tahu bagaimana menjawabnya. Gadis itu sama sekali tak bisa membayangkan hal terbaik yang bisa dia lakukan jika mendapati hal serupa.
“Bersikaplah wajar untuk sementara, mungkin. Hingga kita bisa benar-benar memikirkannya secara jernih,” jawab Dista. “Kau bisa kan, Lin?”
Alin menghela napas dalam. Dadanya sedikit lega setelah membagi beban itu pada Dista. Dalam hati dia bersyukur masih memiliki seorang sahabat yang bisa menjadi tempatnya berkeluh. Meski dia sedikit ragu bagaimana bisa bersikap wajar menghadapi kenyataan ini. Bagaimana dia bisa berpura-pura tak mengetahui apa pun di hadapan mama.
“Jangan berandai yang bukan-bukan, Lin,” kata Arul, kakaknya yang kuliah di kota lain menanggapi pertanyaan ‘bagaimana seandainya’ yang ditanyakan Alin di telepon.
“Mama nggak mungkin mengkhianati kita,” tandasnya. Keyakinan yang membuat Alin urung bercerita tentang pesan romantis di ponsel mama.
Beberapa hari ini Alin memang menahan diri untuk tidak mengungkit soal itu di hadapan papa. Juga di hadapan mama. Dia hanya mencoba menghindari kontak dengan wanita itu sedapat mungkin agar kegusarannya tidak tercium.
Juga masih mencuri baca pesan-pesan di HP mama dari pengirim berinisial Cinta itu. Seperti sekarang….
‘Bagaimana kalau nanti siang kita ketemu di kafe yang dulu? Nostalgia. Ingat kafe romantis di ujung jalan dekat PDAM itu, kan? Dulu kita sering rame-rame ke sana bareng teman-teman sekelas’
Nostalgia. Berarti kekasih gelap mama adalah seorang yang pernah mempunyai hubungan dengan wanita itu. Seorang dari masa lalu mamanya. Mungkin mantan kekasih mama waktu masih muda.
Eureka! Alin memperoleh ide untuk memergoki mereka. Dia langsung ke tempat Dista setelah membaca dan menyimpan nomor pengirimnya.
“Rasanya aku tak sabar ingin menyumpahserapahi kekasih gelap mama, Dis,” kata Alin dengan kegeraman teramat.
“Sebaiknya jangan, Lin,” cegah Dista. “Bagaimanapun, harga diri keluargamu menjadi taruhannya.”
“Tapi laki-laki ini….”
“Dengan memergoki mereka saja, aku rasa mamamu akan menyadari kesalahannya. Dan Arul maupun papamu tak perlu tahu bahwa orang tercinta mereka pernah tergelincir ke jalan yang salah.”
“Aku tak tahu apakah aku bisa memaafkan….”
“Aku tak mau menemanimu kecuali kau yakin bisa menguasai diri,” sikukuh Dista.
Alin menghembuskan napas berat.
Ditemani Dista, Alin mengawasi kafe romantis dari seberang jalan. Mereka berlindung pada almari display toko sekaligus warnet itu.
Mama lebih dulu sampai di sana. Mengenakan celana panjang dan kaos berkerah. Kerudungnya berwarna senada dengan pakaiannya. Alin muak mendapati mama selayaknya gadis belasan tahun yang tengah jatuh cinta. Padahal sudah memiliki dua anak yang telah beranjak remaja.
Wanita itu duduk menghadapi meja sendirian. Sesekali dia tampak bercakap dengan pemilik kafe. Dada Alin sudah berdegup kencang. Dia membayangkan apa yang hendak dilakukannya nanti setelah kekasih gelap mama datang.
Beberapa menit berlalu. Tiba-tiba mata Alin menangkap sesosok laki-laki yang teramat di kenalnya. Papa. Laki-laki itu baru saja turun dari mobil angkutan umum. Papa tidak membawa mobilnya. Hampir saja Alin berteriak memanggil papanya agar tidak melihat mama di kafe itu. Tapi terlambat. Papa telah sampai di ambang pintu kafe.
Mungkinkah papa juga telah mengetahui perselingkuhan mama? Dan seperti halnya Alin, mungkin laki-laki itu tahu mama hendak bertemu kekasih gelapnya di sana? Dada Alin bergetar. Dicengkramnya Dista dengan was-was. Bagaimanapun. Alin tak ingin melihat orang tua terkasihnya bertengkar di tempat umum.
Papa duduk di hadapan mama. Laki-laki itu sepertinya bisa mengontrol diri. Ah, papa memang selalu bijak menyikapi segala hal. Kearifan yang selalu ingin Alin tiru.
Mereka tampaknya tidak bertengkar. Alin tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun dia bisa melihat mereka tertawa bersama. Ataukah mereka tengah sama-sama melakoni sandiwara? Mama dengan aktingnya seolah tidak tengah menunggu siapapun di kafe itu, dan papa dengan kepura-puraannya seolah tak tahu penghianatan Mama?
Bagaimana kalau papa memang tak tahu? Alin menelan ludah. Dia berpikir, andai saja ketika papa datang, laki-laki yang mama simpan nomornya dengan nama “Cinta” itu telah datang. Mungkin akan ada pertengkaran. Tapi jika itu menjadi penyelesaian yang terbaik dari pada kepura-puraan?
Andai saja….
Jemari Alin membuka pouch dipinggangnya. HP yang telah dia isi pulsa hasil bongkar tabungannya itu dia keluarkan. Laki-laki kekasih gelap mama mungkin telah melihat papa hingga tak berani menampakkan muka.
Alin menghubungi nomor yang telah disimpannya. Menunggu teleponnya diangkat. Dia teramat ingin memaki perusak rumah tangga orang itu.
“Halo….”
Tersambung. Tapi suara itu….
“Ada apa Alin?” Suara papa! Alin tak mengerti. Sedetik dia merasa mungkin salah memencet nomor. Sepasang matanya yang tengah mengawasi kafe romantis mendapati papa tengah memegang HP di sisi kepalanya.
“Papa?” Suara Alin serak oleh cacimaki yang tertahan. “Papa punya nomor baru?”
“Iya. Ada apa?”
Alin menggeleng tak mengerti. Dia tak tahu apakah harus kecewa atau bahagia. Alin hanya merasa teramat tak
mengerti. Atau, orang tua seringkali memang susah dimengerti?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar