“Ini bule, apa abis nyebur ke air mendidih sih? Kok biar bulu mata ikut memutih?”
Tak ada seseorang pun yang menginginkan kekurangan dalam dirinya, meski kesempurnaan juga mustahil dimiliki seseorang. Ada saja yang kurang, membuat kesempurnaan itu hanyalah angan. Hendra, cowok berotak cerdas dan bebas menggunakan fasilitas yang diinginkan. Mobil, motor gede, notebook, apalagi yang namanya ponsel, bukanlah barang langka buat Hendra. Tapi apa arti itu semua jika selalu merasa keberadaannya di lingkungan tempatnya bergaul, kurang mendapat tempat.
Hendra bukan cowok yang kasar apalagi tempramental. Bahkan sebaliknya, Hendra punya senyum yang setiap orang berhak mendapatkannya jika dia mau, karena Hendra memang tak pilih-pilih orang untuk disenyumi. Bahkan Hendra terkenal royal, hingga setiap yang dimilikinya, mulai dari uang, pulsa, hingga tanpa segan mengulurkan kartu kredit jika seseorang membutuhkan bantuannya.
Lalu apa yang kurang dalam diri Hendra? Pigmen, itu jawabnya. Kondisi genetisnya yang tak sempurna, menyebabkan organisme dalam tubuhnya tak bisa membentuk pigmen. Dan lahirlah dia sebagai manusia albino. Rambut dan kulit memutih tak wajar. Keadaan seperti itu tentu saja membuatnya tak bisa pilih-pilih teman, apalagi pacar.
Hendra pernah menitikkan air mata, saat dua tahun lalu dia menyaksikan klip lagu Chrisye, Seperti Yang Kau Minta, yang bercerita seorang cowok albino mendamba cinta seorang cewek yang diidamkannya. Lagu itu, hingga kini tetap dipilihnya sebagai lagu ”kebangsaan”. Meski sebenarnya dia tak pernah mendamba pada cewek manapun. Dia tahu pasti, apa akhir dari yang didambakannya, luka!
“Mama Via masuk rumah sakit. Ada nggak yang bisa ngantar Via ke sana.” ucap pak Hans yang baru terima telepon dari papa Via. Via di sampingnya sudah bercucuran air mata.
“Saya bisa!”
Hendra tak menunggu persetujuan dari siapa-siapa, dia telah berlari ke arah tempat parkir untuk mengambil mobilnya. Padahal, Via bagi Hendra masihlah asing. Dia hanya butuh alamat rumah sakit.
Tentang siapa Via dan bagaimana dengan pelajaran Fisika yang ditinggalkannya, Hendra tak mengacuhkannya.
“Terima kasih, Kak Hendra mau menolongku.”
Hendra hanya melirik sekali ke wajah Via, lalu kembali konsentrasi pada arus lalu lintas.
“Oh iya, namaku Via. Anak kelas IA. Kalo nggak salah, Kak Hendra kelas III IPA 1 ya?”
Hendra hanya mengangguk. Gara-gara dia albino, seluruh penghuni sekolah kenal dengan dirinya.
Hendra pernah berangan, dia bisa seperti Irfan, Ansar, ataupun Farid yang terkenal seantero sekolah karena digilai cewek. Tapi keyataannya, orang lebih mengenal dia akibat kekurangan yang dimilikinya.
Entah di sekolah, mal, ataupun di tempat keramaian lainya, Hendra selalu jadi pusat perhatian. Bahkan pernah sekali, saat dia mencari alamat teman di sebuah perkampungan kumuh, begitu dia keluar dari mobil, anak-anak langsung mengerumuni dia sambil bernyanyi; “Bule masuk kampung… bule masuk kampung!”
“Ini bule apa abis nyebur ke air mendidih sih? Kok sampai bulu mata ikut memutih?”
“Iya, ya? Semuanya putih! Putih seperti ada kelainan. Biasanya kan, bule cakep. Ini kok lebih mirip… atau jangan-jangan alien nih?”
“Kakak bule dari mana? Pasti tinggalnya di negeri bersalju, sampe putih begini. Atau kakak ini pangeran yang akan mempersunting Putri Salju? Tapi kok, pangerannya nggak gagah?”
Hendra berusaha tersenyum, meski di balik dadanya dia merasakan luka yang lumayan sakit. Saat terluka seperti itu, dia terkadang meragukan keadilan Tuhan, yang memperlihatkan kuasa-Nya dengan menciptakan makhluk serupa dirinya. Tapi keraguan itu diusirnya cepat saat dia terjaga bahwa masih banyak yang bernasib lebih malang daripada dirinya. Dia memang tak bebas memilih teman apalagi pacar, tapi dia bebas menggunakan uang. Dia memang bisa mengeluh dengan kondisi kulit tubuhnya yang memutih tak wajar, tapi tak sedikit orang yang ingin punya kaki, ingin punya tangan, ingin tubuhnya sempurna. Jadi, dia harus mensyukuri apa yang dimilikinya kini.
“Kak Hendra melamun?”
Via mencoba mengusik kebisuan yang menjalar sepanjang perjalanan ke rumah sakit.
“Nggak tahu harus cerita apa. Oh iya, mamamu sakit apa?”
Via memulai jawabannya dengan air mata. Inilah yang tak diinginkan Hendra hingga memilih asyik dengan pikirannya. Dia takut kesedihan Via teraduk jika dia bertanya tentang mamanya.
“Perusahaan papaku bangkrut. Mama memang ada gejala hipertensi. Aku takut, dia stroke menerima kenyataan pahit yang perlahan mulai meresap ke keluarga kami.”
“Perlahan meresap?” selidik Hendra.
“Papa tiba-tiba punya wanita simpanan, lalu perusahaan bangkrut, dan Irfan kakakku, minggu lalu ditemukan hampir mati akibat over dosis.”
“Jadi kamu adiknya Irfan?”
Hendra sangat kenal dengan Irfan, meski beda kelas. Irfan yang cakep, setiap semester berganti pacar, bahkan Hendra selalu berangan, seandainya saja dia terlahir seberuntung Irfan. Tapi ternyata…? Kali ini dia merasa jauh lebih beruntung daripada Irfan yang selama ini sempurna di matanya.
“Padahal aku sudah sering nasihatin Kak Irfan, biar nggak rapuh dengan kenyataan yang tiba-tiba berubah pahit. Tapi dia selalu beralasan jika dia malu pada teman-teman kalo ketahuan sebagai anak dari keluarga broken home.”
Helaan napas Hendra berubah berat. Dia mulai merasa bahwa dirinya tak semalang yang dipikirkannya selama ini.
“Gitu juga dengan mama. Berkali-kali aku ingatkan untuk tegar, kerapuhan hanya akan membuat suasana semakin pahit. Tapi nggak nyangka, mama merasakan ini sebagai ujian yang maha dahsyat.”
Mobil telah tiba di rumah sakit. Sebelum turun dari mobil, Hendra menyempatkan diri menatap sekilas ke arah Via. Beberapa menit saja bersamanya, dia mendapat banyak pelajaran.
Via bukan cewek sembarangan, bisik batinnya memuji. Saat papanya keliru, harusnya dia yang rapuh, bukan Irfan yang cowok ataupun mamanya yang telah banyak mengecap garam kehidupan. Tapi sekali lagi, Hendra hanya bisa memuji Via dalam hati. Dia tak boleh menyimpan kagum berlebihan, apalagi sampai mengucapkan cinta, karena akan berkesan pamrih dari bantuan yang telah diberikan pada Via.
“Makasih, Ndra!”
Hendra mengangguk sambil tersenyum, melepas langkah Via menelusuri koridor rumah sakit.
Saat hendak berbalik pulang ke sekolah, tiba-tiba seorang ibu menampakkan wajah resah, bergegas ke arah telpon umum yang menempel di dinding rumah sakit.
Hendra menghentikan langkah. Perlahan didengarnya suara ibu yang menelpon itu berkesan memelas.
“Tolonglah, Bu! Anak saya sakit. Gaji saya bulan depan nggak usah dibayar, asal ibu mau meminjamkan uang untuk biaya perawatan anak saya.”
Hendra melirik ibu setengah baya itu. Wajahnya jelas menampakkan kekecewaan. Gagang telpon diletakkan dengan lemas.
“Ada yang bisa kubantu, Bu?” Hendra mencoba mendekat.
Wanita itu terkesima. Memperhatikan Hendra dari ujung kaki hingga ujung rambut. Hendra yakin, keheranan ibu itu bukan karena dia menggunakan seragam sekolah di tengah rumah sakit. Tapi karena dia albino.
“Tadi aku dengar Ibu minjam uang. Kebetulan aku punya uang tunai. Tadi mau bayar SPP tapi ada teman yang butuh antaran ke sini. Ibu pakai aja uang ini!”
Wanita itu semakin keheranan. Sejenak dia merasa dirinya tengah bermimpi dengan mengucek-ngucek matanya yang basah air mata. Hendra meraih tangan wanita itu lalu memegangkan uang ke tangannya.
“Semoga anak Ibu cepat sembuh!”
“Terima kasih,”
Hanya batin ibu itu yang membisikkan kalimat. Dia masih juga belum percaya, jika dia bisa mendapatkan uang dari orang yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Padahal, dia baru saja memelas tapi tak berhasil menggugah hati majikannya, yang selama ini menggunakan tenaganya untuk mencuci dan mengurus segala keperluan dapur.
Sejak bangun pagi hingga menjelang siang seperti ini, Hendra telah dua kali memberikan yang terbaik yang dia bisa. Bukan maksud menghitung ataupun mengingat terus apa yang telah diberikannya, tapi dia selalu berusaha mengingat senyum orang-orang yang telah dibantunya.
Hendra sangat bahagia saat melihat orang bisa tersenyum karena bantuannya, meski tak jarang dia menerima senyum ”aneh” karena kekurangan yang dimilikinya.
Hari ini bukan hari pertama Hendra menawarkan bantuan. Dia selalu seperti itu, tak bisa berkata tidak, saat seseorang meminta bantuannya.
Bukan karena ingin dipuji sebagai malaikat, tapi semata karena ingin menutupi kekurangan yang dimilikinya dengan kebaikan.
Pulang dari rumah sakit menuju sekolah, laju mobilnya lebih cepat dari biasanya. Dengan harapan bisa ikut ulangan harian Fisika. Tapi siapa sangka, kemahirannya membawa mobil, teruji saat dengan tiba-tiba seorang pengemis tua yang kerap mangkal di lampu merah Ahmad Yani, menyeberang. Dia telah berusaha menghindar, dan pengemis itu pun selamat, tapi mobil sedannya terpuruk di depan mobil kanvas yang juga melaju cepat dari arah yang berlawanan.
Dia masih sempat melihat pengemis itu berlari ke arahnya untuk menolong, tapi semua berubah gelap kemudian. Dalam gelap itu, ada sesuatu yang terlepas dari raganya. Melayang ke atas, meninggalkan tubuhnya yang berlumuran darah dan memacetkan arus lalu lintas.
Pengemis yang tadi diselamatkannya, ternyata datang bukan untuk menolong tapi untuk mengambil dompet dan ponselnya. Hendra melihatnya dengan jelas. Saat orang-orang mulai mengerumuninya, satu per satu barang berharga miliknya, dijarah. Dia hanya memandangi tubuhnya yang berlumuraan darah tanpa bisa berbuat apa-apa.
Bahkan hingga tubuhnya dilarikan ke rumah sakit, dia belum bisa apa-apa. Tapi jiwanya yang telah terpisah dari raga bisa menyaksikan semua yang terjadi pada dirinya.
Jiwanya menangis ketika hingga dua hari di rumah sakit, dia belum juga dibesuk siapa-siapa. Semua karena identitas tentang dirinya, kabur karena dompetnya ”diselamatkan” saat kecelakaan, sementara wajahnya tak bisa lagi dikenali akibat luka. Ke mana semua orang yang pernah ditolongnya? Seolah tak ada yang merasa kehilangan dirinya, untuk kemudian berusaha mencari keberadaannya.
Hendra hampir saja menganggap dirinya telah mati, jika dia tak menyaksikan jarum infus masih menancap di nadinya, layar pengukur detak jantung masih menampakkan gerakan garis kurva tak beraturan.
Menjelang siang, seseorang masuk ke dalam kamar perawatannya. Lelaki cakep dengan wajah yang bersinar.
Dia mencoba mengingat, di mana dia pernah bertemu dengan orang itu, atau bahkan mungkin pernah dia tolong sebelumnya. Lama dicarinya, tak satu pun file tentang orang itu tersimpan di memorinya.
Yang membuatnya tersentak, saat lelaki berseragam putih bersih itu mengulurkan tangan untuknya, bukan untuk raganya yang masih belum bisa apa-apa, tapi pada jiwanya yang kini melayang di sekitar tubuh tak berdayanya. Dia satu-satunya yang bisa melihat keberadaannya.
Lalu dengan suara lembut, mengajaknya untuk pergi dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik dari yang selama ini dilaluinya. Hendra percaya saja. Karena selama ini dia memang selalu merasa, hidup tak adil untuknya. Menolong tanpa pamrih, tapi saat dia butuh seseorang untuk memberinya semangat hidup, tak ada yang ingin duduk di sisinya.
Hendra tak bisa mungkir bahwa dia keberatan terlahir sebagai manusia albino, meski sesering mungkin dia mengambil orang yang lebih cacat dari dirinya sebagai pembanding. Dia pun tak merasa salah dengan pilihannya untuk ikut bersama dengan sosok berseragam putih yang menjanjikan kehidupan yang jauh lebih baik.
Hendra menyambut uluran tangan sosok berseragam putih itu. Suster panik menghubungi dokter. Tapi terlambat, detak jantungnya yang mulai soak sejak kecelakaan, pasif di detik berikutnya.
Di detik yang sama, kepergian Hendra memberi firasat pada orang-orang terdekatnya. Di rumah, mama dan papanya yang selama ini menganggap Hendra sedang berkunjung dan tinggal hidup bersama anak panti seperti yang selama ini dilakukannya, sering bermimpi tentang Hendra yang pergi dengan seorang lelaki berjubah putih.
Sementara di sekolah, Via dan semua orang yang pernah ditolongnya, tak pernah menduga jika ”malaikat putih” yang selama ini menolongnya, telah pergi. Sosoknya yang albino mungkin saja tak membuat orang kehilangan warna karena ketidakhadirannya, tapi ketulusan hati Hendra jarang bisa menyerupainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar