"Ehm..... bener juga, sih! Cewek bandel kayak kamu seharusnya memang punya pacar. Jadi ada yang kasih nasihat kalo lagi kumat.”
“Ian jahat...!!”, teriak Icha saat tangan cowok bandel itu menarik kuncir rambutnya. Sementara Ian sudah kabur, sambil tertawa ngakak, meninggalkan Icha yang memberengut kesal.
Murid-murid lain yang ada di lorong, hanya geleng-geleng kepala saat melihatnya. Kejadian seperti itu sudah biasa bagi mereka. Tidak pagi, saat istirahat, ataupun saat pulang kedua orang itu selalu bertengkar. Icha sebenarnya tidak habis pikir kenapa cowok itu seneng banget bikin dia sewot.
Ian. Cowok itu dikenalnya saat dia di duduk di bangku kelas tiga SMP.
Sementara Ian sudah duduk di kelas dua SMA. Ian
teman maen basket Leo, kakak kandungnya Icha. Sebenarnya Icha hanya pernah bertemu Ian sekali. Tapi nama Ian selalu disebut-sebut Leo sebagai sahabat terbaiknya. Hingga tragedi itu terjadi. Leo mengalami kecelakaan mobil. Setelah empat
hari dirawat di rumah sakit, ia pun meninggal.
Waktu itu sekitar enam bulan sebelum Icha lulus SMP. Dan sejak itu ia tidak pernah mendengar nama Ian lagi. Saat itu ia begitu terpukul dengan kematian kakak kandung satu-satunya itu. Icha berubah menjadi pemurung. Dunianya hanya sekolah dan kamar tidur.
Orangtuanya sampai khawatir dibuatnya. Lalu masa sebagai murid baru SMU pun tiba. Namun ditengah kehebohan teman-teman barunya, Icha tetap menjadi gadis pemurung. Hingga suatu hari........
“Hai. Kamu Icha kan? Masih ingat aku? Ian, teman maen basket kakakmu. Sori baru tahu kalo kamu jadi adik kelasku. Habis kamu kecil sih, jadi nggak kelihatan. Kalau perlu apa-apa,jangan sungkan minta tolong ya. Ok!”, lalu sekejap
cowok itu sudah berlalu meninggalkan Icha yang
terbengong-bengong kaget. Otaknya masih berusaha mengumpulkan kepingan-kepingan wajah yang muncul seperti hantu. Sekejap
datang dan sebentar kemudian hilang. Setelah itu, kehebohan pun terjadi di kelasnya
Teman-temannya, terutama yang cewek, langsung menyergapnya dengan berbagai pertanyaan. Siapa? Kenalin dong! Cakep banget!
Gimana bisa kenal? Dan masih banyak lagi. Maklum aja, anak baru sudah dikenal kakak kelas, cakep lagi, siapa yang nggak penasaran. Dan sejak itulah hari-hari Icha selalu dibayangi segala keisengan Ian. Namun Icha tak bisa benar-benar marah
padanya. Karena ia sadar polah bandel Ian-lah yang telah mengubahnya menjadi Icha yang dulu lagi. Icha yang manis dan ceria.Jam istirahat. Icha tampak termenung sendirian di kelas.
Di tangannya ada selembar brosur tentang audisi pencarian bakat penyiar radio di kotanya. Sesekali dihembuskan napas pendek. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Karena terlalu sibuk dengan pikirannya, ia tidak menyadari kalo Ian sudah
berdiri disampingnya sambil senyum-senyum.
“Melamun non?”, sapa Ian pelan.
“Hiahh!!”,teriak Icha kaget, “Eh dodol! Kira-kira
dong! Jantung ini bisa copot tahu.”, Solot Icha.
“Eh bakpaow! Makanya jangan ngelamun aja!”, bales Ian enggak mau kalah.
“Suka-suka!mo ngelamun kek!mo ketawa kek!mo nangis kek! Terserah dong! Kenapa kamu yang repot?”, sahut Icha makin sewot.
“lagi mikirin aku ya?”, ujar Ian dengan seringai jahil tanpa mempedulikan Icha yang mulai naek darah.
“Eeenak aja! Emangnya kamu siapa?”, sahut Icha sambil tetap berusaha menahan diri.
“kalo gitu pasti cowok laen, pacar? Ehm.....
bener juga, sih! Cewek bandel kayak kamu seharusnya memang punya pacar. Jadi ada yang kasih nasihat kalo lagi kumat.” Ian
nyerocos tanpa peduli Icha yang sudah mau meledak karena saking jengkelnya.
“Ok deh! Ian bantuin, ditanggung sebentar lagi kamu bakal dapat pacar. Gimana?setuju?”, kali ini mimik wajahnya dibuat serius.
“Enggak butuh!” seru Icha setengah berteriak sambil melangkah
keluar kelas, meninggalkan Ian yang lagi ketawa
terbahak-bahak, sendirian. Saat itu, mata Ian tertuju pada
kertas yang ditinggalkan Icha. Ia tersenyum, ada sesuatu muncul di kepalanya.
Pagi ini sarapan dalam perut Icha langsung hilang hanya untuk menahan emosi. Di hadapannya terpampang sebuah kertas pengumuman terpampang besar disamping mading sekolah:
DICARI!!!
seorang cowok yang mau menjadi pacar Icha Maharani, dengan kriteria:
sanggup jalan sama cewek bandel, manja, tulalit, dan gampang marah Bagi yang berminat silahkan berhubungan langsung dengan Icha
NOTE: MOHON CEPAT! KARENA CEWEK INI SUDAH HAMPIR BUNUH DIRI KARENA DEPRESI.
Selesai membacanya, Icha langsung mencak-mencak. Matanya sibuk mencari Ian. “Awas kalo ketemu.”, desisnya. Dan saat masuk ke
kelasnya, Ian tampak duduk dibangkunya sambil senyum-senyum.
Saat keduanya sudah berhadapan, belum sempat Icha membuka mulutnya, sebuah amplop diserahkan Ian ke tangannya. “Ini tanda peserta untuk audisi penyiar, awas kalo sampai nggak datang. Aku sudah rela antri berjam-jam dan keluar duit buat
ngedaftarin kamu. Ok!”, lalu secepat kilat kabur meninggalkan Icha yang kebingungan. Bingung karena enggak jadi marah dan bingung soal tanda peserta di tangannya.
“darimana dia tahu?” tanya Icha dalam hati sambil garuk-garuk kepala.
Hari itu tiba. Sebenarnya Icha enggan mengikuti audisi itu karena dia merasa kurang percaya diri. Namun Ian yang datang menjemput, dengan alasan tidak rela duitnya terbuang sia-sia, berhasil memaksa Icha untuk berangkat. Ian hanya memberinya dua pilihan, digendong paksa untuk ikut atau jalan sendiri walau juga terpaksa. Dan yang bikin Icha dongkol, mama dan
papanya hanya senyum-senyum,seperti mengamini kelakuan Ian.
Disinilah dia akhirnya, berjajar menunggu giliran bersama puluhan peserta yang lain. Sementara Ian menunggu di kejauhan sambil sesekali menyeringai bandel. Sepertinya dia mau bilang
“mampus kau”, sambil tertawa senang. Audisi berjalan sampai malam. Ditemani Ian, Icha menunggu pengumuman keluar. Pukul 23.00, hasil itupun keluar. Icha dan Ian sibuk mengamati
dari atas ke bawah berulang-ulang lima nama yang ada, tapi tetap saja nama Icha tak muncul secara ajaib disana.
“Tuh kan! Sudah dibilang apa? Pasti gagal!”, ujar Icha. Ian tersenyum,
“yang penting kan sudah dicoba. Itung-itung buat
pengalaman buat lain kali”.
Kali ini suara Ian terdengar tulus menghiburnya. Icha sejenak terdiam. Baru kali ini dia mendengar Ian bicara dengan nada seperti itu. Diamatinya Ian.
Sebenarnya ada sesuatu yang sejak tadi ingin ditanyakannya.
Dan ia perlu tahu sekarang. “Ian!”, panggil Icha. “Hm..”,
sahut Ian pendek.
“Boleh tanya nggak?”
“Tanya apa?”
“Kenapa kamu semangat banget maksa aku ikut audisi?”. Tak ada
jawaban.
“Jangan sampai kamu bilang kalo kamu jatuh cinta sama aku!”,
ancam Icha. Sejenak Ian tertawa kecil, “ini semua karena
kakakmu.”. Icha mengernyitkan kening,”maksud kamu?”, ia
bertanya tak mengerti. “Sebelum meninggal,Leo pernah ngomong
kalo sampai dia mati, dia bakal meninggalkan seorang adik
kecil manis yang menyayanginya. Dia enggak mau kalu adiknya
menjadi dan tak pernah terbang mencapai mimpi dan
cita-citanya.
So, disinilah aku, sesuai janji yang aku buat. Aku akan
menjadi sayap untuk membawamu terbang ke angkasa mimpimu,
sampai kamu kuat dan berani untuk terbang sendiri. Walaupun
harus kuakui repot juga ngurus adik yang bandelnya setengah
mati.”
Icha tertegun. Dipandanginya Ian lebih lekat. Ada sebuah rasa
yang begtu besar merayap naik ke hatinya. Rasa sayang kepada
sosok di depannya, yang telah berjuang mengganti sosok lain
yang telah pergi dari hidupnya. “Makasih kak.....”, ucap Icha
dengan mata basah. “ Eh kok nangis. Sudah dong! Malu dilihat
orang.”. Icha tak peduli dipeluknya Ian. Sebuah bisik lirih
keluar dari mulutnya,”Terima kasih sudah menjadi sayap
untukku. Icha janji untuk mulai belajar terbang.”
Icha mendongak, dipandanginya bintang-bintang di langit. Wajah
Leo tergambar disana, “Terima kasih kak! Sudah memberikanku
sayap yang begitu kuat...”, bisik Icha dalm hati.
“Ian jahat...!!”, teriak Icha saat tangan cowok bandel itu menarik kuncir rambutnya. Sementara Ian sudah kabur, sambil tertawa ngakak, meninggalkan Icha yang memberengut kesal.
Murid-murid lain yang ada di lorong, hanya geleng-geleng kepala saat melihatnya. Kejadian seperti itu sudah biasa bagi mereka. Tidak pagi, saat istirahat, ataupun saat pulang kedua orang itu selalu bertengkar. Icha sebenarnya tidak habis pikir kenapa cowok itu seneng banget bikin dia sewot.
Ian. Cowok itu dikenalnya saat dia di duduk di bangku kelas tiga SMP.
Sementara Ian sudah duduk di kelas dua SMA. Ian
teman maen basket Leo, kakak kandungnya Icha. Sebenarnya Icha hanya pernah bertemu Ian sekali. Tapi nama Ian selalu disebut-sebut Leo sebagai sahabat terbaiknya. Hingga tragedi itu terjadi. Leo mengalami kecelakaan mobil. Setelah empat
hari dirawat di rumah sakit, ia pun meninggal.
Waktu itu sekitar enam bulan sebelum Icha lulus SMP. Dan sejak itu ia tidak pernah mendengar nama Ian lagi. Saat itu ia begitu terpukul dengan kematian kakak kandung satu-satunya itu. Icha berubah menjadi pemurung. Dunianya hanya sekolah dan kamar tidur.
Orangtuanya sampai khawatir dibuatnya. Lalu masa sebagai murid baru SMU pun tiba. Namun ditengah kehebohan teman-teman barunya, Icha tetap menjadi gadis pemurung. Hingga suatu hari........
“Hai. Kamu Icha kan? Masih ingat aku? Ian, teman maen basket kakakmu. Sori baru tahu kalo kamu jadi adik kelasku. Habis kamu kecil sih, jadi nggak kelihatan. Kalau perlu apa-apa,jangan sungkan minta tolong ya. Ok!”, lalu sekejap
cowok itu sudah berlalu meninggalkan Icha yang
terbengong-bengong kaget. Otaknya masih berusaha mengumpulkan kepingan-kepingan wajah yang muncul seperti hantu. Sekejap
datang dan sebentar kemudian hilang. Setelah itu, kehebohan pun terjadi di kelasnya
Teman-temannya, terutama yang cewek, langsung menyergapnya dengan berbagai pertanyaan. Siapa? Kenalin dong! Cakep banget!
Gimana bisa kenal? Dan masih banyak lagi. Maklum aja, anak baru sudah dikenal kakak kelas, cakep lagi, siapa yang nggak penasaran. Dan sejak itulah hari-hari Icha selalu dibayangi segala keisengan Ian. Namun Icha tak bisa benar-benar marah
padanya. Karena ia sadar polah bandel Ian-lah yang telah mengubahnya menjadi Icha yang dulu lagi. Icha yang manis dan ceria.Jam istirahat. Icha tampak termenung sendirian di kelas.
Di tangannya ada selembar brosur tentang audisi pencarian bakat penyiar radio di kotanya. Sesekali dihembuskan napas pendek. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Karena terlalu sibuk dengan pikirannya, ia tidak menyadari kalo Ian sudah
berdiri disampingnya sambil senyum-senyum.
“Melamun non?”, sapa Ian pelan.
“Hiahh!!”,teriak Icha kaget, “Eh dodol! Kira-kira
dong! Jantung ini bisa copot tahu.”, Solot Icha.
“Eh bakpaow! Makanya jangan ngelamun aja!”, bales Ian enggak mau kalah.
“Suka-suka!mo ngelamun kek!mo ketawa kek!mo nangis kek! Terserah dong! Kenapa kamu yang repot?”, sahut Icha makin sewot.
“lagi mikirin aku ya?”, ujar Ian dengan seringai jahil tanpa mempedulikan Icha yang mulai naek darah.
“Eeenak aja! Emangnya kamu siapa?”, sahut Icha sambil tetap berusaha menahan diri.
“kalo gitu pasti cowok laen, pacar? Ehm.....
bener juga, sih! Cewek bandel kayak kamu seharusnya memang punya pacar. Jadi ada yang kasih nasihat kalo lagi kumat.” Ian
nyerocos tanpa peduli Icha yang sudah mau meledak karena saking jengkelnya.
“Ok deh! Ian bantuin, ditanggung sebentar lagi kamu bakal dapat pacar. Gimana?setuju?”, kali ini mimik wajahnya dibuat serius.
“Enggak butuh!” seru Icha setengah berteriak sambil melangkah
keluar kelas, meninggalkan Ian yang lagi ketawa
terbahak-bahak, sendirian. Saat itu, mata Ian tertuju pada
kertas yang ditinggalkan Icha. Ia tersenyum, ada sesuatu muncul di kepalanya.
Pagi ini sarapan dalam perut Icha langsung hilang hanya untuk menahan emosi. Di hadapannya terpampang sebuah kertas pengumuman terpampang besar disamping mading sekolah:
DICARI!!!
seorang cowok yang mau menjadi pacar Icha Maharani, dengan kriteria:
sanggup jalan sama cewek bandel, manja, tulalit, dan gampang marah Bagi yang berminat silahkan berhubungan langsung dengan Icha
NOTE: MOHON CEPAT! KARENA CEWEK INI SUDAH HAMPIR BUNUH DIRI KARENA DEPRESI.
Selesai membacanya, Icha langsung mencak-mencak. Matanya sibuk mencari Ian. “Awas kalo ketemu.”, desisnya. Dan saat masuk ke
kelasnya, Ian tampak duduk dibangkunya sambil senyum-senyum.
Saat keduanya sudah berhadapan, belum sempat Icha membuka mulutnya, sebuah amplop diserahkan Ian ke tangannya. “Ini tanda peserta untuk audisi penyiar, awas kalo sampai nggak datang. Aku sudah rela antri berjam-jam dan keluar duit buat
ngedaftarin kamu. Ok!”, lalu secepat kilat kabur meninggalkan Icha yang kebingungan. Bingung karena enggak jadi marah dan bingung soal tanda peserta di tangannya.
“darimana dia tahu?” tanya Icha dalam hati sambil garuk-garuk kepala.
Hari itu tiba. Sebenarnya Icha enggan mengikuti audisi itu karena dia merasa kurang percaya diri. Namun Ian yang datang menjemput, dengan alasan tidak rela duitnya terbuang sia-sia, berhasil memaksa Icha untuk berangkat. Ian hanya memberinya dua pilihan, digendong paksa untuk ikut atau jalan sendiri walau juga terpaksa. Dan yang bikin Icha dongkol, mama dan
papanya hanya senyum-senyum,seperti mengamini kelakuan Ian.
Disinilah dia akhirnya, berjajar menunggu giliran bersama puluhan peserta yang lain. Sementara Ian menunggu di kejauhan sambil sesekali menyeringai bandel. Sepertinya dia mau bilang
“mampus kau”, sambil tertawa senang. Audisi berjalan sampai malam. Ditemani Ian, Icha menunggu pengumuman keluar. Pukul 23.00, hasil itupun keluar. Icha dan Ian sibuk mengamati
dari atas ke bawah berulang-ulang lima nama yang ada, tapi tetap saja nama Icha tak muncul secara ajaib disana.
“Tuh kan! Sudah dibilang apa? Pasti gagal!”, ujar Icha. Ian tersenyum,
“yang penting kan sudah dicoba. Itung-itung buat
pengalaman buat lain kali”.
Kali ini suara Ian terdengar tulus menghiburnya. Icha sejenak terdiam. Baru kali ini dia mendengar Ian bicara dengan nada seperti itu. Diamatinya Ian.
Sebenarnya ada sesuatu yang sejak tadi ingin ditanyakannya.
Dan ia perlu tahu sekarang. “Ian!”, panggil Icha. “Hm..”,
sahut Ian pendek.
“Boleh tanya nggak?”
“Tanya apa?”
“Kenapa kamu semangat banget maksa aku ikut audisi?”. Tak ada
jawaban.
“Jangan sampai kamu bilang kalo kamu jatuh cinta sama aku!”,
ancam Icha. Sejenak Ian tertawa kecil, “ini semua karena
kakakmu.”. Icha mengernyitkan kening,”maksud kamu?”, ia
bertanya tak mengerti. “Sebelum meninggal,Leo pernah ngomong
kalo sampai dia mati, dia bakal meninggalkan seorang adik
kecil manis yang menyayanginya. Dia enggak mau kalu adiknya
menjadi dan tak pernah terbang mencapai mimpi dan
cita-citanya.
So, disinilah aku, sesuai janji yang aku buat. Aku akan
menjadi sayap untuk membawamu terbang ke angkasa mimpimu,
sampai kamu kuat dan berani untuk terbang sendiri. Walaupun
harus kuakui repot juga ngurus adik yang bandelnya setengah
mati.”
Icha tertegun. Dipandanginya Ian lebih lekat. Ada sebuah rasa
yang begtu besar merayap naik ke hatinya. Rasa sayang kepada
sosok di depannya, yang telah berjuang mengganti sosok lain
yang telah pergi dari hidupnya. “Makasih kak.....”, ucap Icha
dengan mata basah. “ Eh kok nangis. Sudah dong! Malu dilihat
orang.”. Icha tak peduli dipeluknya Ian. Sebuah bisik lirih
keluar dari mulutnya,”Terima kasih sudah menjadi sayap
untukku. Icha janji untuk mulai belajar terbang.”
Icha mendongak, dipandanginya bintang-bintang di langit. Wajah
Leo tergambar disana, “Terima kasih kak! Sudah memberikanku
sayap yang begitu kuat...”, bisik Icha dalm hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar