Jamal jadi salah tingkah. Sepertinya Jamal menyadari kesalahannya. Heti masih menunggu beberapa saat untuk Jamal meralat lagi perkataanya, tapi Jamal memang tak mau melakukannya.
“Don, kita duduk di sana, yuk.” Heti menunjuk sepetak
taman yang dikelilingi pagar besi. Di taman itu
terdapat sebuah bangunan berukuran kecil berbentuk
kotak yang di atasnya menempel empat patung pahlawan
yang berasal dari daerah ini di masa Penjajahan
Belanda.
“Yuk.” Doni mendorong sepeda motor yang mesinnya
telah mati itu ke pinggir dan menstandarkannya. Kedua
muda-mudi ini pun pergi menuju bangunan itu. Lewat
pintu pagar yang dibiarkan terbuka mereka masuk. Pada
tonjolan semen yang memagari bunga-bunga dan tepat
berada di bawah bangunan itu, keduanya duduk melepas
lelah. Pinggang keduanya terasa pegal setelah hampir
dua jam dengan mengendarai sepeda motor mengelilingi
kota kecil ini.
“Kamu haus?” Doni menatap wajah Heti.
Heti mengangguk.
“Tunggu di sini.” Bergegas Doni pergi.
Baru juga Doni melangkah beberapa langkah Heti
bertanya, “Mau ke mana?”
Tanpa menghentikan langkah kepala Doni menengok.
“Beli minuman!”
Heti menatapi berpasang-pasang muda-mudi yang lalu
lalang dengan bergandengan mesra melintas tak jauh
dari taman tempatnya duduk. Pada malam Minggu,
alun-alun ini oleh para remaja yang kasmaran memang
dijadikan sebagai tempat memadu kasih. Mungkin alasan
para remaja memilih tempat ini, karena tempat ini
cukup nyaman dan jajanannya murah meriah. Sedangkan
jika berpacaran di kafe-kafe harus memesan minuman
atau makanan yang harganya lumayan mahal.
Tak begitu lama, Doni sudah kembali dengan dua
plastik es teh botol di kedua tangannya. Doni
menyerahkah seplastik pada Heti. Heti menerimanya dan
lewat sedotan langsung meminumnya. Doni duduk di
sebelah Heti sambil meminum es teh botol juga.
Keduanya tampak asyik menghilangkan rasa haus
masing-masing tanpa sepatah kata pun yang terucap.
Namun, dalam diamnya itu, sesungguhnya Doni tengah
merenungi arti kebersamaanya selama hampir satu bulan
ini bersama Heti.
Sebenarnya, ingin rasanya Doni menanyakannya pada
Heti, tapi keberanian untuk itu tak kunjung hadir.
Ya, Doni memang benar-benar tak mengerti mengapa
perkenalannya dengan gadis secantik Heti sebulan lalu
begitu mudahnya. Semua berawal dari Heti yang sebulan
lalu mencari alamat kos teman satu sekolahnya dan
nyasar ke rumah Doni. Doni yang kebetulan tahu alamat
yang disebutkan Heti langsung mengantar Heti ke
tempat kos tersebut yang memang berada di
perkampungan tempat Doni tinggal. Setelah sampai di
tempat kos itu, Heti mengucapkan terima kasih dan
memperkenalkan diri. Doni pun menyebutkan namanya.
Sebelum Doni kembali ke rumahnya, Heti memberikan
nomor telepon rumahnya dan meminta Doni jika punya
waktu meneleponnya. Selama beberapa hari, Doni
mempertimbangkan menelepon Heti atau tidak. Tapi
akhirnya, Doni memutuskan untuk menelepon Heti dengan
berlagak menanyakan kabar Heti. Dan di telepon itulah
Heti meminta pada Doni diajak jalan-jalan. Heti
mengatakan tidak mempunyai teman cowok. Walau tidak
begitu percaya dengan pendengaranya Doni pun
menyetujuinya. Heti meminta Doni menjemputnya di
sebuah tempat. Berawal dari itulah selama sebulan
ini, Heti dan Doni lebih dari sepuluh kali
menghabiskan waktu malam mereka berdua.
“Abis ini kita ke mana lagi?” tanya Heti dengan
menatap wajah Doni. Doni yang tengah melamun seraya
meminum es teh botol ini sedikit terkejut karena
pertanyaan itu.
“Apa?”
“Abis ini kita ke mana lagi?” ulang Heti.
“Kita pulang aja, ya?”
“Kok buru-buru? Ini kan malam Minggu.”
“Udah malem. Aku takut orangtuamu mengkhawatirkanmu.”
Heti menatap mata Doni yang tengah menatapnya. Dari
sorot mata Doni itu, Heti menemukan kesungguhan dari
ucapan Doni barusan. Heti merasakan Doni sebagai
cowok yang pengertian.
“Oke deh kita pulang.”
Doni mendahului bangkit. Heti mengikuti. Keduanya
berjalan menuju sepeda motor yang terparkir tak jauh
dari tempat itu.
Heti benar-benar dalam keadaan bingung. Pasalnya, jam
tujuh malam nanti, Jamal, kekasihnya, minta ketemuan
di GR Ciceri untuk nonton konser Radja. Padahal, pada
jam yang sama,
Heti juga punya janji mengantar Doni ke rumah sakit
menengok kawannya yang dirawat karena tabrakan.
Sebenarnya, Heti sudah menolak keinginan Jamal itu,
tapi Jamal bersikeras agar Heti datang. Jamal
mengancam putus jika Heti sampai tak datang. Selama
sebulan ini, Jamal memang sudah terlalu sabar
menghadapi sikap Heti yang seringkali membatalkan
janjinya. Heti pun menyadari itu. Selama sebulan ini,
setiap kali Doni mengajaknya keluar, Heti pasti
membatalkan janjinya terhadap Jamal. Ya, ini semua
dilakukannya bukan lantaran Heti sudah tak cinta lagi
pada Jamal, tapi karena ia sudah berjanji dengan
Seruni, sahabatnya yang juga adik kandung Doni, untuk
menemani selama sebulan ini ke mana pun Doni minta
ditemani tanpa boleh menolak. Dan sebagai imbalannya,
Heti menerima uang di muka sebesar dua ratus ribu.
Seruni melakukan itu karena Seruni tak ingin melihat
kakaknya terus-terusan murung akibat dikhianati
kekasihnya yang pacaran lagi. Makanya, Seruni
membuatkan skenario perkenalan Jamal dan Heti. Seruni
berharap luka hati kakaknya itu dapat terobati dengan
kehadiran gadis secantik Heti.
Sebenarnya, Heti ingin menolak uang pemberian Seruni
yang sebesar dua ratus ribu itu. Karena Heti pikir,
untuk membantu sahabat tak perlu pamrih. Tapi, Seruni
terus memaksanya untuk menerima uang itu. Seruni
beralasan, uang itu bukan bayaran tapi wujud terima
kasihnya. Tapi, itu kan hanya kemasan bahasa saja,
intinya tetap sama. Heti yang kebetulan memang tengah
memiliki hutang akibat menjatuhkan HP kawanya hingga
rusak, menerima juga uang itu dan uang itu ia gunakan
untuk membetulkan HP tersebut.
Saat Doni datang dengan motor bebeknya di depan
rumah Heti, Heti sudah rapi berpakaian dengan duduk
di ruang teras. Namun, sampai saat ini Heti masih
bingung untuk menetukan pilihan, mengantar Doni ke
rumah sakit atau memenuhi keinginan Jamal menonton
konser Radja. Jika mengantar Doni ke rumah sakit,
sebagai resikonya, Heti harus rela putus dengan
Jamal, sedangkan jika memenuhi keinginan Jama,l
berarti Heti mengingkari janjinya pada Seruni. Ah,
Heti benar-benar bingung.
Heti bangkit menghampiri Doni. Kebingungan masih
terlukis di wajahnya. Doni menangkap juga pancaran di
wajah Heti itu.
“Kamu kenapa?” tanya Doni menyelidik.
“Enggak kok, enggak kenapa-napa.”
“Ada sesuatu yang membebani kamu?”
Heti mencoba tersenyum. “Enggak ada apa-apa, kok,
Don. Aku hanya bingung nyari cincin emasku.
Sepertinya aku lupa naro.”
“Apa kita cari dulu?”
“Enggak usah, deh, nanti juga ketemu.” Heti naik di
boncengan.
“Kamu udah pamit dengan kedua orangtuamu?”
Heti mengangguk. Ya, setiap kali Doni hendak pergi
bersama Heti, Doni selalu menanyakan hal ini.
Doni menarik gas motornya. Motor itu pun melaju
menyusuri gang menuju jalan raya.
Selama dalam perjalanan menuju rumah sakit, Heti
masih bingung. Sungguh ia pun tak ingin sampai putus
dengan Jamal hanya gara-gara hal seperti ini. Ya,
bagaimana pun Heti memang mencintai Jamal. Tiba-tiba
saja di benak Heti muncul sebuah rencana.
Heti menepuk bahu Doni. “Don, bisa antar aku sebentar
enggak?”
“Ke mana?”
“Ke GR Ciceri.”
Doni mengangguk. Tanpa banyak tanya lagi, Doni
membelokkan laju motornya menuju GR Ciceri.
“Berhenti di sini, Don.”
Doni menuruti keinginan Heti dengan mengerem
motornya. Heti melompat turun.
“Tunggu di sini, ya, Don.”
Doni mengangguk. Bergegas Heti pergi menuju suatu
tempat berniat menemui Jamal.
Di kawasan GR telah dipenuhi ratusan bahkan mungkin
ribuan calon penonton yang sembilan puluh persennya
terdiri dari usia remaja. Heti berhenti, kepalanya
clingukan. Belasan meter di depan orang yang
dicarinya tengah duduk di bangku penjual makanan.
Segera Heti menghampirinya.
“Mal,” pangil Heti.
Yang dipanggil menolehkan kepalanya. Senyumnya mekar.
“Kukira kamu enggak datang.”
“Justru aku datang ke sini ingin menjelaskan sesuatu
sama kamu.”
“Menjelaskan apa lagi?” Dahi Jamal berkerut.
“Sorry, ya, Mal, aku enggak bisa ikut nonton konser,
aku harus nengokin sahabatku yang tabrakan dan kini
tengah dirawat di rumah sakit.” Heti memasang mimik
wajah memelas. Dengan begitu, ia berharap Jamal mau
mengerti.
“Aku tuh udah beli karcis dua, Het. Nengoknya nanti
aja kan bisa.”
“Mal… luka sahabatku itu parah, aku takut….”
“Keburu meninggal?” potong Jamal. “Kalau keburu
meninggal itu namanya takdir. Dan kamu ditakdirkan
untuk tidak menengoknya.”
Heti tak mengira Jamal sebegitu egoisnya. Percuma
saja Heti berbohong dengan mengatakan yang tabrakan
sahabatnya. Ternyata, Jamal tak memiliki keperdulian
pada sesama!
“Udah telat lima menit nih, yuk.” Jamal menarik
lengan Heti menuju pintu masuk gedung tempat konser
Radja yang sebentar lagi dimulai itu. Dan Heti hanya
bisa menurut tanpa dapat berbuat apa-apa lagi, hanya
batinnya yang mengkhawatirkan Doni. Sementara
titik-titik air dari langit mulai jatuh membasahi
bumi yang kian lama kian membesar. Heti berharap Doni
pulang karena hujan ini.
Pada pukul sembilan konser Radja selesai. Para
penonton berdesakkan keluar dari gedung. Begitupun
dengan Heti dan Jamal. Sesampainya sepasang kekasih
ini di luar keadaan telah becek dan di jalanan yang
berlubang tergenangi air. Saat sepasang kekasih ini
berada di dalam gedung menonton konser Radja hujan
deras memang turun.
“Hai, Jamal!”
Jamal yang tengah menggandeng mesra Heti menolehkan
kepalanya ke arah suara yang memanggilnya. Heti pun
melakukan hal yang sama. Berjarak sekitar lima
meteran seorang gadis berdiri dengan tersenyum manis
pada Jamal. Jamal pun balas tersenyum. Gadis itu
berjalan menghampiri.
Heti memperhatikan gadis itu dari kaki sampai kepala.
Gadis itu benar-benar cantik seperti anak indo.
“Kamu masih ingat aku?” ucapnya saat telah berada di
dekat Jamal.
“Tentu saja aku ingat.”
Mendengar perkataan Jamal senyum gadis itu makin
mekar.
“Oh iya, kamu ke sini dengan siapa?” tanya Jamal
menyadari gadis itu hanya sendirian.
“Sendiri.”
“Kok sendirian?”
“Iya… sebenarnya aku tuh ke sini nyariin kamu. Tadi,
sekitar pukul tujuh aku nelepon ke rumahmu. Kata
orang rumah, kamu ke sini. Ya, aku ke sini nyari kamu
dan aku juga nonton konser.”
“Kamu masih nyimpen nomor telpon rumahku rupanya,”
ucap Jamal pada raut wajahnya tergambarkan
kebanggaan.
“Ini….” Gadis itu menunjuk Heti.
“Temen,” potong Jamal.
“Apa!” Heti benar-benar tak terima dibilang temen di
depan gadis cantik itu.
Ditatapnya wajah Jamal lekat. Jamal jadi salah
tingkah. Sepertinya, Jamal menyadari kesalahannya.
Heti masih menunggu beberapa saat untuk Jamal meralat
lagi perkataanya, tapi Jamal memang tak mau
melakukannya. Mungkin karena berada di depan gadis
cantik ini, Jamal tak mau melakukannya. Dengan hati
hancur, Heti pergi meniggalkan tempat itu.
Heti berjalan tergesah menuju jalan raya. Ia
benar-benar tak mengira Jamal akan berbuat seperti
itu hanya karena di depan seorang gadis cantik.
Tiba-tiba saja sebuah suara memangil namanya, “Heti!”
Heti menoleh. Di sebuah halte Doni tengah duduk. “Oh,
Tuhan, apakah di tempat itu ia duduk menungguku?”
batin Heti. Pukul tujuh tadi ia memang meminta Doni
menunggunya di sekitar tempat ini. Heti segera
berjalan menghampiri Doni. Doni pun segera bangkit
dari duduknya.
“Sedang apa kamu di sini, Don?” tanya Heti masih
belum mengerti. Matanya menatap wajah Doni, yang
masih menyisakan rona kecemasan.
“Aku menungumu di sini.”
“Kenapa masih menungguku?” Heti benar-benar tak
mempercayai kekonyolan Doni yang demi menunggunya
rela berada di tempat ini selama dua jam.
“Sebenarnya, aku sudah sejak tadi ingin pergi, tapi
saat perginya kamu kan bersamaku. Nanti apa yang akan
aku pertanggungjawabkan di depan kedua orangtuamu
jika terjadi apa-apa. Terlebih aku memang ingin
memastikan tak terjadi apa-apa dengan kamu.” Sisa
kecemasan di wajah Doni mulai memudar berganti dengan
rona keceriaan.
“Sebegitu bertanggungjawabnya dan perhatiannya kamu,
Don,” jerit Heti dalam hati. Tanpa sadar, ia peluk
tubuh Doni. Namun, segera ia melepaskan kembali
pelukannya, karena pakaian Doni lembab. “Kenapa
bajumu agak basah?”
“Tadi, saat hujan gerimis aku pergi mencari kamu, aku
kawatir terjadi apa-apa dengan kamu.”
“Tentu saja kamu tak ‘kan menemukan aku, karena aku
berada di dalam gedung menonton konser. Maafkan aku,
Don,” sesal Heti dalam hati. Heti pun kembali memeluk
Doni erat-erat tak peduli pakaian Doni yang lembab.
Perlahan air matanya luruh bersama cintanya pada Doni
yang mulai tumbuh. Dan dalam hatinya, Heti berkata,
“Ni, mulai saat ini cintaku pada Doni bukanlah sebuah
sekenario yang kamu buat, tapi cinta yang
sesungguhnya.”
“Don, kita duduk di sana, yuk.” Heti menunjuk sepetak
taman yang dikelilingi pagar besi. Di taman itu
terdapat sebuah bangunan berukuran kecil berbentuk
kotak yang di atasnya menempel empat patung pahlawan
yang berasal dari daerah ini di masa Penjajahan
Belanda.
“Yuk.” Doni mendorong sepeda motor yang mesinnya
telah mati itu ke pinggir dan menstandarkannya. Kedua
muda-mudi ini pun pergi menuju bangunan itu. Lewat
pintu pagar yang dibiarkan terbuka mereka masuk. Pada
tonjolan semen yang memagari bunga-bunga dan tepat
berada di bawah bangunan itu, keduanya duduk melepas
lelah. Pinggang keduanya terasa pegal setelah hampir
dua jam dengan mengendarai sepeda motor mengelilingi
kota kecil ini.
“Kamu haus?” Doni menatap wajah Heti.
Heti mengangguk.
“Tunggu di sini.” Bergegas Doni pergi.
Baru juga Doni melangkah beberapa langkah Heti
bertanya, “Mau ke mana?”
Tanpa menghentikan langkah kepala Doni menengok.
“Beli minuman!”
Heti menatapi berpasang-pasang muda-mudi yang lalu
lalang dengan bergandengan mesra melintas tak jauh
dari taman tempatnya duduk. Pada malam Minggu,
alun-alun ini oleh para remaja yang kasmaran memang
dijadikan sebagai tempat memadu kasih. Mungkin alasan
para remaja memilih tempat ini, karena tempat ini
cukup nyaman dan jajanannya murah meriah. Sedangkan
jika berpacaran di kafe-kafe harus memesan minuman
atau makanan yang harganya lumayan mahal.
Tak begitu lama, Doni sudah kembali dengan dua
plastik es teh botol di kedua tangannya. Doni
menyerahkah seplastik pada Heti. Heti menerimanya dan
lewat sedotan langsung meminumnya. Doni duduk di
sebelah Heti sambil meminum es teh botol juga.
Keduanya tampak asyik menghilangkan rasa haus
masing-masing tanpa sepatah kata pun yang terucap.
Namun, dalam diamnya itu, sesungguhnya Doni tengah
merenungi arti kebersamaanya selama hampir satu bulan
ini bersama Heti.
Sebenarnya, ingin rasanya Doni menanyakannya pada
Heti, tapi keberanian untuk itu tak kunjung hadir.
Ya, Doni memang benar-benar tak mengerti mengapa
perkenalannya dengan gadis secantik Heti sebulan lalu
begitu mudahnya. Semua berawal dari Heti yang sebulan
lalu mencari alamat kos teman satu sekolahnya dan
nyasar ke rumah Doni. Doni yang kebetulan tahu alamat
yang disebutkan Heti langsung mengantar Heti ke
tempat kos tersebut yang memang berada di
perkampungan tempat Doni tinggal. Setelah sampai di
tempat kos itu, Heti mengucapkan terima kasih dan
memperkenalkan diri. Doni pun menyebutkan namanya.
Sebelum Doni kembali ke rumahnya, Heti memberikan
nomor telepon rumahnya dan meminta Doni jika punya
waktu meneleponnya. Selama beberapa hari, Doni
mempertimbangkan menelepon Heti atau tidak. Tapi
akhirnya, Doni memutuskan untuk menelepon Heti dengan
berlagak menanyakan kabar Heti. Dan di telepon itulah
Heti meminta pada Doni diajak jalan-jalan. Heti
mengatakan tidak mempunyai teman cowok. Walau tidak
begitu percaya dengan pendengaranya Doni pun
menyetujuinya. Heti meminta Doni menjemputnya di
sebuah tempat. Berawal dari itulah selama sebulan
ini, Heti dan Doni lebih dari sepuluh kali
menghabiskan waktu malam mereka berdua.
“Abis ini kita ke mana lagi?” tanya Heti dengan
menatap wajah Doni. Doni yang tengah melamun seraya
meminum es teh botol ini sedikit terkejut karena
pertanyaan itu.
“Apa?”
“Abis ini kita ke mana lagi?” ulang Heti.
“Kita pulang aja, ya?”
“Kok buru-buru? Ini kan malam Minggu.”
“Udah malem. Aku takut orangtuamu mengkhawatirkanmu.”
Heti menatap mata Doni yang tengah menatapnya. Dari
sorot mata Doni itu, Heti menemukan kesungguhan dari
ucapan Doni barusan. Heti merasakan Doni sebagai
cowok yang pengertian.
“Oke deh kita pulang.”
Doni mendahului bangkit. Heti mengikuti. Keduanya
berjalan menuju sepeda motor yang terparkir tak jauh
dari tempat itu.
Heti benar-benar dalam keadaan bingung. Pasalnya, jam
tujuh malam nanti, Jamal, kekasihnya, minta ketemuan
di GR Ciceri untuk nonton konser Radja. Padahal, pada
jam yang sama,
Heti juga punya janji mengantar Doni ke rumah sakit
menengok kawannya yang dirawat karena tabrakan.
Sebenarnya, Heti sudah menolak keinginan Jamal itu,
tapi Jamal bersikeras agar Heti datang. Jamal
mengancam putus jika Heti sampai tak datang. Selama
sebulan ini, Jamal memang sudah terlalu sabar
menghadapi sikap Heti yang seringkali membatalkan
janjinya. Heti pun menyadari itu. Selama sebulan ini,
setiap kali Doni mengajaknya keluar, Heti pasti
membatalkan janjinya terhadap Jamal. Ya, ini semua
dilakukannya bukan lantaran Heti sudah tak cinta lagi
pada Jamal, tapi karena ia sudah berjanji dengan
Seruni, sahabatnya yang juga adik kandung Doni, untuk
menemani selama sebulan ini ke mana pun Doni minta
ditemani tanpa boleh menolak. Dan sebagai imbalannya,
Heti menerima uang di muka sebesar dua ratus ribu.
Seruni melakukan itu karena Seruni tak ingin melihat
kakaknya terus-terusan murung akibat dikhianati
kekasihnya yang pacaran lagi. Makanya, Seruni
membuatkan skenario perkenalan Jamal dan Heti. Seruni
berharap luka hati kakaknya itu dapat terobati dengan
kehadiran gadis secantik Heti.
Sebenarnya, Heti ingin menolak uang pemberian Seruni
yang sebesar dua ratus ribu itu. Karena Heti pikir,
untuk membantu sahabat tak perlu pamrih. Tapi, Seruni
terus memaksanya untuk menerima uang itu. Seruni
beralasan, uang itu bukan bayaran tapi wujud terima
kasihnya. Tapi, itu kan hanya kemasan bahasa saja,
intinya tetap sama. Heti yang kebetulan memang tengah
memiliki hutang akibat menjatuhkan HP kawanya hingga
rusak, menerima juga uang itu dan uang itu ia gunakan
untuk membetulkan HP tersebut.
Saat Doni datang dengan motor bebeknya di depan
rumah Heti, Heti sudah rapi berpakaian dengan duduk
di ruang teras. Namun, sampai saat ini Heti masih
bingung untuk menetukan pilihan, mengantar Doni ke
rumah sakit atau memenuhi keinginan Jamal menonton
konser Radja. Jika mengantar Doni ke rumah sakit,
sebagai resikonya, Heti harus rela putus dengan
Jamal, sedangkan jika memenuhi keinginan Jama,l
berarti Heti mengingkari janjinya pada Seruni. Ah,
Heti benar-benar bingung.
Heti bangkit menghampiri Doni. Kebingungan masih
terlukis di wajahnya. Doni menangkap juga pancaran di
wajah Heti itu.
“Kamu kenapa?” tanya Doni menyelidik.
“Enggak kok, enggak kenapa-napa.”
“Ada sesuatu yang membebani kamu?”
Heti mencoba tersenyum. “Enggak ada apa-apa, kok,
Don. Aku hanya bingung nyari cincin emasku.
Sepertinya aku lupa naro.”
“Apa kita cari dulu?”
“Enggak usah, deh, nanti juga ketemu.” Heti naik di
boncengan.
“Kamu udah pamit dengan kedua orangtuamu?”
Heti mengangguk. Ya, setiap kali Doni hendak pergi
bersama Heti, Doni selalu menanyakan hal ini.
Doni menarik gas motornya. Motor itu pun melaju
menyusuri gang menuju jalan raya.
Selama dalam perjalanan menuju rumah sakit, Heti
masih bingung. Sungguh ia pun tak ingin sampai putus
dengan Jamal hanya gara-gara hal seperti ini. Ya,
bagaimana pun Heti memang mencintai Jamal. Tiba-tiba
saja di benak Heti muncul sebuah rencana.
Heti menepuk bahu Doni. “Don, bisa antar aku sebentar
enggak?”
“Ke mana?”
“Ke GR Ciceri.”
Doni mengangguk. Tanpa banyak tanya lagi, Doni
membelokkan laju motornya menuju GR Ciceri.
“Berhenti di sini, Don.”
Doni menuruti keinginan Heti dengan mengerem
motornya. Heti melompat turun.
“Tunggu di sini, ya, Don.”
Doni mengangguk. Bergegas Heti pergi menuju suatu
tempat berniat menemui Jamal.
Di kawasan GR telah dipenuhi ratusan bahkan mungkin
ribuan calon penonton yang sembilan puluh persennya
terdiri dari usia remaja. Heti berhenti, kepalanya
clingukan. Belasan meter di depan orang yang
dicarinya tengah duduk di bangku penjual makanan.
Segera Heti menghampirinya.
“Mal,” pangil Heti.
Yang dipanggil menolehkan kepalanya. Senyumnya mekar.
“Kukira kamu enggak datang.”
“Justru aku datang ke sini ingin menjelaskan sesuatu
sama kamu.”
“Menjelaskan apa lagi?” Dahi Jamal berkerut.
“Sorry, ya, Mal, aku enggak bisa ikut nonton konser,
aku harus nengokin sahabatku yang tabrakan dan kini
tengah dirawat di rumah sakit.” Heti memasang mimik
wajah memelas. Dengan begitu, ia berharap Jamal mau
mengerti.
“Aku tuh udah beli karcis dua, Het. Nengoknya nanti
aja kan bisa.”
“Mal… luka sahabatku itu parah, aku takut….”
“Keburu meninggal?” potong Jamal. “Kalau keburu
meninggal itu namanya takdir. Dan kamu ditakdirkan
untuk tidak menengoknya.”
Heti tak mengira Jamal sebegitu egoisnya. Percuma
saja Heti berbohong dengan mengatakan yang tabrakan
sahabatnya. Ternyata, Jamal tak memiliki keperdulian
pada sesama!
“Udah telat lima menit nih, yuk.” Jamal menarik
lengan Heti menuju pintu masuk gedung tempat konser
Radja yang sebentar lagi dimulai itu. Dan Heti hanya
bisa menurut tanpa dapat berbuat apa-apa lagi, hanya
batinnya yang mengkhawatirkan Doni. Sementara
titik-titik air dari langit mulai jatuh membasahi
bumi yang kian lama kian membesar. Heti berharap Doni
pulang karena hujan ini.
Pada pukul sembilan konser Radja selesai. Para
penonton berdesakkan keluar dari gedung. Begitupun
dengan Heti dan Jamal. Sesampainya sepasang kekasih
ini di luar keadaan telah becek dan di jalanan yang
berlubang tergenangi air. Saat sepasang kekasih ini
berada di dalam gedung menonton konser Radja hujan
deras memang turun.
“Hai, Jamal!”
Jamal yang tengah menggandeng mesra Heti menolehkan
kepalanya ke arah suara yang memanggilnya. Heti pun
melakukan hal yang sama. Berjarak sekitar lima
meteran seorang gadis berdiri dengan tersenyum manis
pada Jamal. Jamal pun balas tersenyum. Gadis itu
berjalan menghampiri.
Heti memperhatikan gadis itu dari kaki sampai kepala.
Gadis itu benar-benar cantik seperti anak indo.
“Kamu masih ingat aku?” ucapnya saat telah berada di
dekat Jamal.
“Tentu saja aku ingat.”
Mendengar perkataan Jamal senyum gadis itu makin
mekar.
“Oh iya, kamu ke sini dengan siapa?” tanya Jamal
menyadari gadis itu hanya sendirian.
“Sendiri.”
“Kok sendirian?”
“Iya… sebenarnya aku tuh ke sini nyariin kamu. Tadi,
sekitar pukul tujuh aku nelepon ke rumahmu. Kata
orang rumah, kamu ke sini. Ya, aku ke sini nyari kamu
dan aku juga nonton konser.”
“Kamu masih nyimpen nomor telpon rumahku rupanya,”
ucap Jamal pada raut wajahnya tergambarkan
kebanggaan.
“Ini….” Gadis itu menunjuk Heti.
“Temen,” potong Jamal.
“Apa!” Heti benar-benar tak terima dibilang temen di
depan gadis cantik itu.
Ditatapnya wajah Jamal lekat. Jamal jadi salah
tingkah. Sepertinya, Jamal menyadari kesalahannya.
Heti masih menunggu beberapa saat untuk Jamal meralat
lagi perkataanya, tapi Jamal memang tak mau
melakukannya. Mungkin karena berada di depan gadis
cantik ini, Jamal tak mau melakukannya. Dengan hati
hancur, Heti pergi meniggalkan tempat itu.
Heti berjalan tergesah menuju jalan raya. Ia
benar-benar tak mengira Jamal akan berbuat seperti
itu hanya karena di depan seorang gadis cantik.
Tiba-tiba saja sebuah suara memangil namanya, “Heti!”
Heti menoleh. Di sebuah halte Doni tengah duduk. “Oh,
Tuhan, apakah di tempat itu ia duduk menungguku?”
batin Heti. Pukul tujuh tadi ia memang meminta Doni
menunggunya di sekitar tempat ini. Heti segera
berjalan menghampiri Doni. Doni pun segera bangkit
dari duduknya.
“Sedang apa kamu di sini, Don?” tanya Heti masih
belum mengerti. Matanya menatap wajah Doni, yang
masih menyisakan rona kecemasan.
“Aku menungumu di sini.”
“Kenapa masih menungguku?” Heti benar-benar tak
mempercayai kekonyolan Doni yang demi menunggunya
rela berada di tempat ini selama dua jam.
“Sebenarnya, aku sudah sejak tadi ingin pergi, tapi
saat perginya kamu kan bersamaku. Nanti apa yang akan
aku pertanggungjawabkan di depan kedua orangtuamu
jika terjadi apa-apa. Terlebih aku memang ingin
memastikan tak terjadi apa-apa dengan kamu.” Sisa
kecemasan di wajah Doni mulai memudar berganti dengan
rona keceriaan.
“Sebegitu bertanggungjawabnya dan perhatiannya kamu,
Don,” jerit Heti dalam hati. Tanpa sadar, ia peluk
tubuh Doni. Namun, segera ia melepaskan kembali
pelukannya, karena pakaian Doni lembab. “Kenapa
bajumu agak basah?”
“Tadi, saat hujan gerimis aku pergi mencari kamu, aku
kawatir terjadi apa-apa dengan kamu.”
“Tentu saja kamu tak ‘kan menemukan aku, karena aku
berada di dalam gedung menonton konser. Maafkan aku,
Don,” sesal Heti dalam hati. Heti pun kembali memeluk
Doni erat-erat tak peduli pakaian Doni yang lembab.
Perlahan air matanya luruh bersama cintanya pada Doni
yang mulai tumbuh. Dan dalam hatinya, Heti berkata,
“Ni, mulai saat ini cintaku pada Doni bukanlah sebuah
sekenario yang kamu buat, tapi cinta yang
sesungguhnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar