Langkah cewek tomboi yang baru saja keluar dari toilet itu berhenti. Sepasang matanya beradu tatap dengan orang yang tadi memanggilnya, yang berdiri di samping pintu toilet. Seorang cowok. Hati Tika terperanjat hebat, cowok itu dikenalnya.
Tim akustik SMA 3 akan mengikuti pertarungan seru. Adu musik dengan sekolah-sekolah lain di kota ini. Persiapan sudah mereka lakukan jauh-jauh hari. Sepertinya sudah cukup matang, terlihat dari sorotan mata pemainnya yang merasa mantap serta siap melaju ke arena tanding. Kompetisi musik semacam ini bukanlah yang pertama kalinya Akula ikuti, nama tim akustik SMA 3. Jadi, rasa deg-degan hanya sedikit-sedikit saja mendera para pemainnya.
“Bagaimana, Ris. Apa alat-alat musiknya sudah
masuk semua ke dalam mobil?” tanya Anto, memastikan
alat-alat musik yang akan mereka mainkan di sana
tidak ada satu pun yang tertinggal.
Haris mengacungkan jempol tangannya ke arah
Anto, “Siiip.”
Tangan kanan Haris men-starter Kijang tua
pinjaman ayahnya. Tak lama kemudian, mesin mobil pun terdengar menderu, dipanaskan terlebih dahulu.
“Sekolah kita payah nih, masak kita tidak
diberi tumpangan apa pun untuk pergi mentas. Padahal kan, kita ke sana mengatasnamakan sekolah kita juga.” celetuk Adji dengan mulut yang masih dipenuhi cemilan. Melihat yang mengomel sedang mengunyah-nguyah, Haris yang tak jauh dari si gembul Adji, hanya geleng-geleng kepala.
“Sudahlah, memang seperti ini keadaannya, mau
diapakan lagi? Sudah mendukung kita untuk berkarya di sekolah saja, kita sudah syukur. Ya.., walaupun tidak pakai…” Anto mengadukan kedua jarinya,
“Duit..duit…”
Adji melanjutkan ucapan Anto. Haris tersenyum kecut mendengar celetukan sahabat-sahabatnya.
Mesin mobil sudah panas. Dengan cekatan, personel-personel Akula langsung mengambil posisi
duduk. Harislah yang mengemudikan mobil. Dia khawatir mobil keramat milik ayahnya akan ngambek kalau teman-temannya yang membawa. Maklum mobil tua, jadi sedikit-sedikit ngadat. Paling tidak Haris, pemuda bermata elang itu tahu bagaimana menghadapi mobil yang dibawanya, agar terus melaju. Sepanjang perjalanan menuju gedung serba guna, yang kali itu digunakan sebagai tempat kompetisi akustik, tak henti-hentinya mereka bercanda. Sesekali mereka membayangkan seandainya saja Akula-lah yang keluar sebagai juara dan mendapat julukan
“The Young Musician” dari panitia
penyelenggaranya.
“Kalau kita terpanggil jadi juara. Aku bakal bilang
begini..ehm..ehm…” Adji mendehem sambil memperagakan gaya sang juara yang maju di depan pentas, “Aku ucapkan terima kasih untuk kedua orangtuaku yang selalu sediakan cemilan asyik untukku, untuk para tetanggaku yang telah cukup bersabar mendengarkan gebukan drum saat aku latihan, dan…”
“Stop-stop, apaan, Dji? Serasa seleb! Huh…”
Anto buru-buru memotong khayalan Adji. Dilihatnya Adji manyun, sambil terus-menerus memasukkan satu per satu cemilannya. Mereka pun kembali terkekeh.
“Amin deh. Kalau kita yang menang kan, bisa
naik pamor tim akustik kita, he…he…” Haris yang
sedang asyik mengemudi, tak mau ketinggalan
menimpali. Telet..telelet…
Ponsel Anto berbunyi. Seketika itu juga
mereka berhenti tertawa. Sepasang mata mereka
memperhatikan betul orang yang menelepon Anto. Siapa tahu cewek, kan Anto bisa dijadikan bulan-bulanan oleh mereka. Tambah seru, tambah ramai.
“Hallo, Anto?” Benar saja, suara cewek di seberang sana.
“Iiih, kalian ini bagaimana sih. Kok belum
jemput aku. Aku sudah menunggu kalian nih.., sampai kering, tahu! Eh.., jangan bilang kalau kalian sudah kabur duluan ya?” ancam cewek itu dengan suara yang mengisyaratkan si cewek sedang sebal.
Mendengar celoteh cewek di balik ponselnya,
Anto langsung bisa menebak itu suara Tika, salah satu personel Akula juga. Saking keasyikan bercanda, sampai-sampai mereka lupa menjemput personel tercantik di Akula itu. Maklum, cewek satu-satunya di Akula. Karena suaranya yang jernih, personel lainnya meminta cewek itu menjadi vokalis Akula. Tika pun setuju itu, dia memang mencintai dunia tarik suara.
“Aduh, Tika! Untung kamu telepon aku. Kalau
tidak…, he..he…” Anto masih bisa cengar-cengir,
padahal di seberang sana cewek manis berpenampilan tomboi itu sedang sebal luar biasa.
“Apa? Mau ditinggal? Awas lho ya!” ancam Tika
lagi.Mendengar nama Tika disebut oleh Anto, Haris dan Adji serentak menepuk jidat mereka masing-masing,
“Tika!!”
Haris cepat-cepat memutarkan stir mobilnya,
menuju rumah Tika, yang sedikit terlewat. Masih ada waktu 40 menit lagi, sebelum kompetisi akustik dimulai. Jadi, masih ada cukup waktu untuk meneruskan perjalanan ke gedung serba guna.
Beginilah keadaannya, kalau mereka sudah keenakan bercanda, sampai-sampai teman sendiri terlupakan. Padahal, mereka akui kehadiran Tika di tengah-tengah mereka sangatlah penting. Bukan hanya karena Tika adalah vokalis Akula, tapi lebih dari itu. Tika adalah penengah yang selalu siap setiap saat melerai kalau-kalau di antara personel Akula berselisih paham, terjadi cekcok.
Sebenarnya Akula mempunyai anggota tim yang
seabrek jumlahnya, karena Akula adalah salah satu
ekstrakulikuler yang cukup beken di SMA 3. Namun, untuk kompetisi akustik kali ini, yang diikutsertakan hanya enam orang, si macho Anto, si cool Haris, si gembul Adji, si tomboi manis Tika, dan dua personel lainnya, Mugi dan Mukti, yang sengaja berangkat lebih dulu supaya tidak terlambat registrasi ulang di tempat kompetisi.
Benar saja dugaan mereka. Sesampainya Kijang
lawas itu di depan rumah Tika, cewek tomboi itu
bersungut-sungut, mengomeli mereka sepanjang jalan menuju gedung serba guna. Ketiga cowok yang ada di dalamnya tidak ambil pusing. Alih-alih mereka semakin menggoda Tika.
“Habisnya, dibilang suruh kumpul di rumah
Haris juga, banyak alasan. Mau inilah…itulah…” Adji memprotes balik Tika. Cewek tomboi itu malah tambah manyun.
“Ya, iyalah. Namanya juga cewek gitu lho.
Jadi banyak yang mesti diurus!” balas Tika lagi.
“Ooo.., ceritanya sudah jadi cewek nih?”
sindir Haris, sambil melirik ke arah Tika.
“Ukh…” sahut Tika sambil meninju lengan Haris
yang sedang memegang gigi persneling. Haris
menyeringis. Tak tahan, akhirnya Tika pun tertawa
juga. Di parkiran gedung serba guna, Mugi dan Mukti sudah menunggu kedatangan mereka. Dengan akrab, mereka pun saling tos.
Dengan sigap, tangan mereka meraih alat-alat
musik dari dalam mobil. Mereka khawatir, beberapa alat musik tertentu tidak disediakan oleh panitia, jadi supaya lebih aman mereka membawanya sendiri.
“Tim akustik dari sekolah lain sudah banyak
yang kumpul Mug?” tegur Haris, setelah mereka selesai menurunkan alat-alat musik tadi.
“Sebagian besar sudah tuh. Buruan deh kita ke
sana, tapi mesti konfirmasi lagi buat alat-alat musik ini.” jelas Mugi.
Mereka memasuki gedung serba guna. Luas sekali,
itulah kesan pertama mereka. Dinding yang ada di
dalamnya marak dihiasi ornamen polkadot yang dihiasi pula kertas warna-warni yang dibuat dengan berbagai macam bentuk, sehingga menimbulkan kesan ramai. Di dinding depan, tepat di tengahnya, sebuah spanduk terpajang apik. Spanduk yang berisi nama acara tersebut, di bawahnya terpajang beberapa nama sponsor
yang mendukung acara tersebut.
“Kalau kita menang, bakal banyak duit nih.”
celetuk Tika, setelah memandangi nama-nama perusahaan yang menyeponsori kompetisi akustik yang mereka ikuti.
“Yo’i, so pasti!” sahut Adji.
“Eh, kok tiba-tiba aku deg-degan ya?” Mukti
tiba-tiba angkat bicara. Diambilnya sapu tangan biru marun dari kantong celananya, lalu diusapkan ke dahinya.
“Apaan sih, demam panggung Bang?” komentar
Tika setengah menyindir. Haris, Anto, dan Mugi tidak berkomentar. Mereka malah asyik memperhatikan, peserta mana saja yang bakal jadi saingan mereka.
“Guys, aku ke belakang dulu ya.” Tika meminta
izin menuju toilet. Saking terburu-burunya menuju ke arah tolet. Tika menabrak seseorang. Tapi cewek manis itu tidak memedulikan kejadian yang baru saja menimpanya. Langkahnya masih terburu-buru membuka pintu toilet.
“Tika…”
Langkah cewek tomboi yang baru saja keluar dari
toilet itu berhenti. Sepasang matanya, beradu tatap dengan orang yang tadi memanggilnya, yang berdiri di samping pintu toilet. Seorang cowok. Hati Tika terperanjat hebat, cowok itu dikenalnya.
Edu. Cowok yang menjadi bagian dari masa lalu Tika. Dia bukan mantan pacar Tika, tetapi Tikalah yang dulu sempat menaruh hati pada cowok yang dikenalnya teramat bandel dan menyebalkan.
“Masih ingat aku?” tanya Edu mencoba mengingatkan. Ingatan Tika pada cowok yang kini berdiri di hadapannya tentu tidak akan hilang begitu saja, meskipun hampir tiga tahun keduanya tidak pernah lagi bertemu.
Dan batin Tika kini sedang diramaikan oleh berbagai perasaan yang berkecamuk. Senang, tetapi rasa sebal mendominasi perasaannya pada cowok itu. Akh.., kenapa Edu datang lagi, rutuknya dalam hati. Saat Edu dan Tika bersekolah di SMP yang sama, Edu adalah satu-satunya alasan yang membuat cewek manis itu memutuskan untuk pindah sekolah.
Edu dan gengnya yang santer diberitakan super usil, ternyata hal itu benar. Tikalah salah satu korban terparah mereka. Keisengan demi keisengan mereka, membuatnya tidak betah bersekolah di sana. Bagaimana tidak, setiap kali pulang sekolah, Tika selalu saja beruraian air mata, mengeluhkan kelakuan usil Edu dan gengnya.
Tika tiga tahun yang lalu adalah bukan Tika yang
tomboi seperti sekarang. Tika yang dulu adalah cewek manis yang feminin, pemalu, dan penakut. Tika yang lugu dan cengeng. Barangkali hal itulah yang membuat Edu dan gengnya betah menjaili Tika.
“Mau apa kamu ke sini? Minggir.., kasih aku jalan!”
kata Tika, sinis. Lalu, tanpa memedulikan Edu yang
masih berdiri di situ, Tika berjalan kembali menuju tempat pentas. Edu tidak menyangka mendapat reaksi yang seperti itu dari Tika, si manis nan lugu yang dikenalnya dulu. Sikap Tika mencengangkannya, cewek yang dulu sering diusilinya berubah 180 derajat. Kalau saja Tika tahu, bahwa Edu yang sekarang juga
bukanlah Edu yang dulu. Ah.., padahal aku ingin
meminta maaf padanya, sesal Edu.
Terlihat sekali, sesaat lalu Tika agak gugup menatap Edu. Apa karena dia masih menyukai Edu? Tika langsung menggeleng keras ketika pertanyaan yang sama mampir juga di hatinya. Cewek itu menganggapnya hanya cinta monyet. Hasil perjodohan teman-temannya, yang mengenalkan rasa senang kepada Edu.
Terlalu dini…kenang Tika. MC membuka acara. Tujuh belas peserta tim akustik diminta mempersiapkan tim mereka masing-masing. Persaingan yang ketat. Beberapa sekolah yang mempunyai tim akustik yang tergolong patut diacungi jempol, ikut juga. Tapi, Akula tidak gentar. Memang mereka mengharapkan bisa meraih kemenangan, tapi lebih dari itu, sebuah pengalaman berharga akan mereka ambil.
Akula mendapat giliran kedelapan untuk unjuk
kepiawaian mereka dalam bermusik. Tika terlihat lebih banyak diam, setelah datang dari toilet tadi. Di dalam benak gadis tercantik di Akula itu, terkenang akan kejadian-kejadian menyebalkan, kelakuan Edu dan gengnya saat SMP. Mulai dari bangkunya yang ditempeli permen karet, sampai ditakut-takuti Ivan dengan ular sungguhan. Ivan adalah anak buah Edu yang ayahnya seorang pawang ular. Saat ditakut-takutkan padanya,
Tika langsung pingsan.
Sebentar lagi giliran Akula main. Bagaimanapun
pertemuannya tadi dengan Edu, manusia terusil sedunia itu, tidak boleh membuatnya kehilangan mood untuk menunjukkan penampilan vokalnya yang terbaik di panggung. Be a professional, bujuk Tika pada dirinya sendiri, agar dirinya tetap fokus bernyanyi bersama Akula.
Suara alto milik Tika terdengar begitu merdu diiringi alunan musik akustik yang sangat indah. Gemuruh tepuk tangan penonton dan peserta lainnya bertabur saat Akula mengakhiri permainannya.
“Sambutlah peserta berikutnya. Denta dari SMA 1!” MC kembali memanggil peserta berikutnya. Betapa terkejutnya Tika, ketika dia melihat yang menuju panggung adalah Edu dan teman-temannya dari SMA 1. Tika tak menyangka, Edu mempunyai kegemaran yang sama dengannya, bergelut di musik.
“Lagu dan musik yang akan kita bawakan, aku tujukan untuk Tika, vokalis Akula…” ucap Edu tiba-tiba.
Membuat ratusan pasang mata, menatap serentak ke arah Tika. Sontak saja, wajah Tika memerah. Ingin sekali rasanya dia kabur saat itu juga. Terlebih ladi cowok-cowok Akula juga meggodanya habis-habisan,
“Cie..yang punya penggemar..” goda Anto, diikuti yang lainnya dengan tertawa.
Permainan Denta sungguh menakjubkan. Mereka mampu membius mata serta telinga para penonton. Edu memainkan gitar dengan amat piawai. Dalam hati, Tika pun memujinya.
Memang tidak salah juri memilih Denta sebagai
pemenang dan mendapat gelar “The Young Musician” dari panitia penyelenggara. Akula mengakui kehebatan permainan mereka. Meski bukan Akula yang menjadi
pemenang, mereka tetap saja terlihat seperti Akula
yang ramai dan tidak pernah mati bercanda.
“Biarin saja kita kalah, yang penting kita senang.
Apalagi Neng Tika..ehm..ehm..” Haris melirik ke arah Tika, yang langsung disambut dengan tinju dari Tika. Cowok-cowok Akula terkekeh melihat reaksi Tika.
“Tika, boleh aku bicara sebentar?” Tiba-tiba Edu
menghampiri Akula. Sontak saja, Tika kembali menjadi bulan-bulanan cowok-cowok Akula. Tika menggangguk, mempersilahkan.
“Aku minta maaf atas kelakuan usilku saat SMP yang membuatmu pindah sekolah,” tutur Edu tulus.
“Ah, sudahlah. Jangan diingat-ingat lagi. Aku akan
melupakannya. Ehm.., sorry ya, pas di depan toilet
tadi, aku bersikap jutek sama kamu,” balas Tika.
Edu mengangguk.
“Eh, satu lagi. Maaf kejadian tabrakan di depan
toilet tadi,” ucap Edu menambahi.
Tika berpikir sejenak, mengingat-ingat kejadian yang diucapkan Edu.
“Ooh.., jadi itu kamu, Du?” Tika tersenyum, “Iya..,
iya.., sama-sama. Aduh, aku baru nyadar lho…!”
lanjutnya. Para personel Akula dan Denta yang ada di sekitar Tika dan Edu, serentak mengernyitkan kening. Mereka tampak bingung. Kok…, jadi kayak lebaran begini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar