Aku baru saja ingin mengucap terima kasih untuknya, tapi mataku menangkap keanehan pada sikap Mirna. Kabut di matanya, jelas sekali akan pecah menjadi rinai air mata. Menyesalkah dia memperlakukanku kasar?
Kupu-kupu biru itu datang lagi. Dulu aku pernah
membencinya, sehari sebelum kematian Ibu, dia
datang. Dan itu pertama kalinya dia datang. Kusambut dengan senyum, sambil berangan, pangeran dari mana gerangan yang akan datang mengapeliku. Tapi ternyata dia datang membawa firasat bukan untukku, tapi untuk Ibu. Jelmaannya pun bukan seorang pengeran, tapi malaikat maut.
Aku salah firasat. Tak semua kupu-kupu datang membawa kabar bahagia. Mungkin semua biru adalah kelabu. Laut yang biru, dalam mematikan! Langit yang biru, jauh tak tergapai! Kini kupu-kupu biru datang lagi. Aku tak membencinya
lagi. Aku bahkan selalu tersenyum menyambut
kedatangannya, mengingatkanku pada Ibu. Wanita mulia itu, paling setia menemaniku. Kalau pun dia harus meninggalkanku untuk selamanya, rindu seorang anak pada seorang ibunya, tak’kan pernah terlarang. Ada yang harus kumengerti lagi. Biru itu rindu. Rindu yang dalam, pada yang jauh tak tergapai! Dan kupu-kupu biru selalu datang mengusik kerinduanku pada Ibu.
“Kupu-kupu yang lucu, ke mana engkau terbang…”
Penggalan lagu itu, adalah lagu pilihan Ibu sejak aku masih kecil, memintaku untuk tidur di sampingnya. Terakhir lagu itu diperdengarkan, saat aku masih SMP. Saat itu aku sakit. Demam biasa tapi tetaplah membuat Ibu panik.
Kasih sayang Ibu yang terlalu, teramat memanjakanku, harusnya kubaca sebagai firasat bahwa Ibu ingin membuktikan kasih tulusnya untukku. Tapi sayang, aku terlena dalam kasih sayang itu, bahkan pernah menolak dengan alasan tak ingin jadi anak mami.
“Bu, Yanti sudah besar. Masa sih, masih terus
dibuntutin SMS setiap aku telat pulang sekolah.”
Harusnya Ibu marah dengan kalimatku, tapi tetap saja dia tersenyum.
“Jadi keberatan, Ibu memperhatikanmu?”
Mau nggak mau, aku harus ikut tersenyum, menghapus kekesalanku pada Ibu yang seolah tak memantaskanku untuk mandiri. Hidup memang harus selalu dengan senyum, itu menurut Ibu.
“Senyum itu penawar kesedihan. Saat kamu menangis, berhentilah sejenak lalu tersenyum, sedetik saja! Dalam detik itu, senyum itu akan sampai di hati. Mengobati sedih, meski hanya sejenak!”
Aku percaya itu! Dan hingga kini, setiap dalam
masalah, aku selalu menyempatkan untuk tersenyum, walau sedetik. Kupu-Kupu yang lucu, ke mana engkau terbang…
Kunyanyikan lagu itu, kini. Sambil mengulurkan tangan agar mau hinggap di ujung jariku. Jika aku kupu-kupu, dan ditanya, ke mana aku terbang? Aku pasti tak tahu harus menjawab apa. Aku sepertinya tak bisa terbang tanpa Ibu.
Ibu belum sempat memberiku sayap. Kasih sayangnya membuatku jadi anak mami yang harus selalu bergantung pada dia. Mana pernah Ibu memperkenankan aku membantunya di dapur? Jangan harap Ibu akan membiarkanku mencuci seragam sekolahku sendiri! Semua harus Ibu! Dan saat dia harus pergi, Ibu benar-benar meninggalkanku sendiri. Mana mungkin aku melarang Papa untuk menikah lagi?
Siapa yang akan mengurus rumah? Aku tak mungkin
menolak kedatangan ibu tiri hanya dengan alasan aku mencintai Ibu, apalagi hanya karena takut pada sosok ibu tiri.
Tuhan mengijinkanku untuk tersenyum, telah hadir
wanita pengganti Ibu yang selalu memaksaku untuk
menerimanya sebagai pengganti Ibu yang telah pergi.
Seperti halnya Ibu, dia tak memperkenankan aku
menyentuh pakaian kotor, ataupun piring kotor.
Kerjaku hanya belajar dan belajar!Lulus SPMB dengan PTN pilihan di luar Jawa, membuatku harus terbang sendiri, tapi nyatanya aku tak mampu mengepakkan sayapku sendiri.
“Jadi kamu dulunya anak mami, ya?” sinis Rina, teman kosku.
“Anak mami atau kucing rumahan? Masa iya, cuma ngepel ruang tamu nggak bisa?” timpal Mirna. “Ini peraturan asrama. Semua mahasiswi yang tinggal di Ramsis (Asrama Mahasiswi) ini harus patuh! Lagian cuma sekali seminggu.”
“Aku bukannya nggak bisa, Mirna! Tadi kuliahku pagi, telat bangun dan kupikir pulang kuliah juga bisa ngepel,”
Ini yang ketiga kalinya aku diceramahi gara-gara
lupa melaksanakan tugas mingguanku. Teman-teman
asramaku menganggapku, sok anak Jakarta, anak mami, bahkan tak sedikit yang menganggapku angkuh karena selalu lupa dengan tugasku. Padahal, semua ini karena kebiasaanku saat masih ada Ibu. Telat bangun, karena sarapan dan seragam sekolah sudah siap, bahkan buku-buku pelajaran, diperiksa dan dicocokkan kembali dengan roster-ku, oleh Ibu. Terlebih, yang membuat orang mencapku sebagai gadis angkuh, karena aku tak bisa membawa diri, tak bisa
beradaptasi. Tak jarang aku menangis, kalau suara
orang terdengar keras untukku. Aku selalu ingin
semua orang memperlakukanku seperti Ibu. Ibu tiriku saja bisa melakukannya, kenapa orang lain tidak!
Sebenarnya biang dari semua masalah yang kuhadapi kini, adalah Mirna. Sebagai ketua asrama, dia punya banyak massa untuk dihasut, agar orang membenciku.
Awalnya, semua orang memperlakukanku wajar. Senyum, sapa, bahkan mengajakku gabung. Tapi Mirna selalu saja menghalau mereka.
“Cewek seperti dia nggak bisa selalu disenyumi,
dikasih hati. Ntar tambah belagu! Sok manja!
Jangan-jangan di rumahnya malah kerja rodi.” Begitu kata Mirna setiap penghuni asrama tersenyum untukku. Aku tak tahu juga, mengapa dia begitu membenciku?
Padahal harusnya dia yang melarang orang untuk
membenciku. Aku juniornya di Kedokteran Unhas, bahkan dari kota yang sama, Jakarta. Di Ospek kemarin pun, dia yang paling sering membentakku. Awalnya kupikir, itu sandiwara senior pada juniornya, tapi sekarang…?
Perlakuan kasar itu masih berlanjut.
Anehnya lagi, awalnya aku tak mau tinggal asrama.
Lebih memilih tinggal kos di luar kompleks kampus. Toh, angkutan kampus lancar dan lalu lintas tidak semacet Jakarta. Tapi Mirna membujukku saat Ospek selesai, dengan alasan murah, dan gampang diskusi dengan teman kuliah. Tapi kini…? Lagi-lagi aku tak mengerti. Tatapannya seperti seorang ibu tiri, setiap melihatku. Akhhh! Mengapa aku membawa-bawa nama ibu tiri. Ibu tiriku tak segalak itu. Hanya karena aku tak lahir dari rahimnya, yang membuatku tak menyamakannya dengan ibu kandungku.Kini aku diwajibkan merindu pada dua sosok sekaligus, Ibu dan Mama (ibu tiriku)! Dan kupu-kupu biru itu yang selalu datang mengingatkanku pada dua sosok itu. Bahkan saat aku di Makassar, kupu-kupu itu tetap datang untuk menagih rinduku, mengingatkanku bahwa aku tak boleh lupa pada Ibu dan Mama.
Sebelum ke Makassar, aku pernah pesan pada Mama agar menelponku setiap kupu-kupu biru itu datang. Ternyata, di Makassar pun aku bisa menyaksikan kupu-kupu itu datang mencariku.
“Kamu tuh sudah mahasiswi, masa sih kupu-kupu gitu aja dimain-mainin,” Aku tersentak. Mirna masuk di kamarku, tanpa ketuk pintu terlebih dahulu.
“Atau kamu mau dibilang anak manja, anak mami?”
“Maaf, ada perlu apa, Kak Mirna?”
“Mamamu nelpon, katanya uang bulananmu sudah
ditransfer.”
“Kenapa nggak panggil aku, biar aku yang bicara
dengan mamaku?”
“Emang aku pembantu yang bertugas jaga telpon?
Syukur-syukur aku mau sampaikan pesannya. Kupikir kamu masih di kampus.”
Bagaimana mungkin Kak Mirna mengira aku masih di kampus, padahal tadi aku berpapasan saat pulang kuliah. Aku bahkan dengar telepon berdering, tapi dia yang berlari mengangkatnya, dan kupikir itu telpon untuknya.
Aku baru saja ingin mengucap terima kasih untuknya, tapi mataku menangkap keanehan pada sikap Mirna. Kabut di matanya, jelas sekali akan pecah menjadi rinai air mata. Menyesalkah dia memperlakukanku kasar?
“Kak Mirna menangis?” tanyaku memberanikan diri.
Dia langsung berbalik meninggalkanku. Dan aku tak
membiarkan itu terjadi. Ini yang pertama kalinya aku memberanikan diri untuk meneriakinya, bahkan
menghadang langkahnya saat dia tak memperdulikan teriakanku. Air matanya telah pecah!
“Aku yakin Kak Mirna menangis karena aku. Katakan apa salahku, Kak Mirna? Kita sama-sama pendatang di Makassar ini. Aku ingin berbagi…”
“Berbagi katamu?” bentaknya
“Kamu mau berbagi denganku setelah kamu merampas milikku yang paling berharga.”
Aku menggeleng. Aku tak mengerti.
“Sekarang kamu harus tahu, wanita yang kamu panggil Mama, yang baru saja mentransfer uang untukmu adalah mamaku juga.”
“Kak Mirna…!” desisku.
Aku teringat cerita Mama, tentang anaknya yang
menentang pernikahannya, dan lebih memilih tinggal bersama neneknya, tanpa pernah mau menemui Mama lagi,
apalagi ikut dengannya untuk tinggal di rumahku.
“Harusnya Kak Mirna menghapus kebencian padaku, apalagi untuk Mama. Ia selalu merindukanmu. Aku juga. Aku selalu merindukan kehadiran seorang kakak di rumah setelah tahu bahwa Mama punya anak gadis bernama Mirna.”
Kak Mirna seolah tak peduli dengan kalimatku. Dia
melangkah pergi, dan aku membiarkannya. Aku berjanji, tak akan membuatnya kehilangan seorang Mama hanya karena Papa menghadiahkan mamanya untukku, sebagai pengganti Ibu.
Dia harus tahu, juga harus rasakan, bagaimana
mesranya punya Papa. Bagaimana indahnya merasakan kasih sayang yang sempurna, dari Mama dan Papa! Kak Mirna harus mengerti, hidup tak boleh selalu bercermin pada masa lalu ataupun pengalaman orang lain. Tidak semua ibu tiri kejam, juga papa tiri! Jadi tak ada alasan untuk menolak, karena Tuhan yang menuliskan takdir. Tugas kita hanya berdoa, agar takdir tak selalu kelabu.
Aku berbalik ke kamar. Kupu-kupu biru itu sudah
pergi, entah terbang ke mana. Tugasnya kali ini telah selesai, mempertemukanku dengan Kak Mirna.
Kerinduanku bertambah satu lagi. Pada Kak Mirna yang ada di depanku, namun belum bisa kugapai! Dua yang lain adalah, kerinduan pada Ibu yang telah pergi, juga pada Mama yang kini jauh di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar