Teruslah berjalan dalam kebenaran walau itu adalah penyebab kematianmu!!

Minggu, 04 Maret 2012

Kembali


Kebahagiaan itu pudar seketika. Lututnya mencium lantai keramik berwarna putih. Tangannyamemeluk kaki mamanya erat, menahan jerit, hingga air matanya tidak terbendung, berjatuhan.
“Okay, kaula muda semua. Daripada kelamaan ngedengerin Yubee
cuap-cuap, mendingan langsung aja deh simak lagu kerennya Rosa,
Kau Bukan Untukku. I`ll be right back!” suara Mei mengudara,
meliuk menghunjam telinga para pendengar radio yang selalu setia
menunggu acaranya setiap malam Minggu.
Suara merdu Rosa langsung menyusul. Mengalun penuh
penghayatan, mengalirkan sentuhan lain di hati para pendengarnya.
Diraihnya segelas air putih di dekat meja, lalu Mei
meneguknya. Dalam beberapa detik, air yang berada di dalamnya
langsung habis, tidak tersisa.
“Ah…” Mei kembali segar, menyeka air yang membasahi
bibirnya. Pita suaranya telah dimandikan dengan segelas air putih
tadi. Dia kembali siap untuk menarik lagi suaranya, menyambung
acara favorit remaja Banten yang dibawakannya, terutama bagi para
jomblo alias kaum muda yang belum juga punya pasangan.
“Well, kaula muda yang masih setia nyimak acara ini, gue
kembali lagi,” celoteh riang Mei, kemudian segera menyambungnya
kembali.
“Hmm… pada tahu yang namanya ‘phobia’? Yup, menurut
artikel yang gue baca, phobia artinya penyakit ketakutan yang
berlebihan akan sesuatu hal, bisa benda ataupun keadaan. Ciri-
ciri orang yang terserang phobia, si penderita akan mengeluarkan
keringat, jantung berdebar-debar, pusing, wajah pucat ataupun
merah,” jelas Mei dengan headphone di telinganya.
“Ukh... ngeri banget kan? Nah, kira-kira ada yang
mengalami hal yang sama kayak apa yang sudah gue sebutin tadi?”
Mei seolah mengajak para pendengar berkomunikasi dengannya. Di
depan radio sana, beberapa orang mulai menimang-nimang dan mencocokkan gejala-gejala phobia yang tadi disebutkan si penyiar.
Ada yang merasa, ada juga yang langsung menggeleng-gelengkan kepalanya.“Jenis-jenis phobia itu buanyaaak banget. Kalau takut sama ruangan tertutup, itu namanya claustrophobia, kalau takut sama bunga, lain lagi namanya yaitu anthophobia. Nah, kalau takut sama nyokap? Wah, itu sih gara-gara pulang telat!
Ooops...! Kalau yang itu kurang tahu deh apa namanya, he... he... he… Malahan nih ada teman gue, doski takut banget sama karet! Karet, kaula muda! Tapi kasihan juga lho, setiap kali dekat-dekat sama karet, dia
langsung ngibrit. Lari!” Mei bersemangat bercerita kepada para pendengarnya. Begitu komunikatif.
Malam itu Seno, teman siaran Mei tidak datang. Beberapa menit yang lalu sebelum on air, Mei diberi tahu bahwa Seno sedang sakit.
Walaupun harus sendiri, Mei tetap harus ceria dan bersemangat,
bahkan malam Minggu kali ini, dia harus over ramai, agar bisa
mengimbangi keramaian yang ada di malam minggu sebelum- sebelumnya, saat ditemani Seno.
Kalau Seno dan Mei sudah bertemu di satu meja untuk siaran bareng, suasana heboh langsung mencuat dari ruang siaran yang sempit itu. Keduanya saling mengeluarkan jokes yang dapat
membuat para pendengarnya terkekeh. Sangat kompak.
Malam Minggu kali ini, Mei tidak mau kehilangan
pembicaraan. Untungnya dia punya banyak info dari bacaan yang dia baca, beberapa info gaul bagi remaja seusianya, artikel-artikel mengenai kesehatan, atau berita-berita hiburan yang lagi ramai- ramainya dibicarakan. Jadi, meski kurang lengkap karena ketidakhadiran Seno, dia tetap bisa bercanda dan bercuap-cuap dengan bahan pembicaraan yang berisi.
Mei mulai membacakan pesan-pesan singkat dari para pendengar yang sudah berjubel memenuhi inbox. Ada yang kirim- kirim salam, minta lagu, kirim-kirim humor jayus, atau bahkan puisi-puisi romantis yang menggeleparkan hati para pendengar lainnya. Dipilih-pilihnya pesan-pesan singkat itu untuk dibacanya.
“Ini ada sms dari... siapa ini? Ehm… Ega di Cilegon.
Katanya dia mau kirim-kirim salam buat anak-anak Silika Band,
ucapannya moga makin solid aja. Terus dia juga nge-request
lagunya /rif dengan judul Raja. Oups... ada sambungannya nih…”
Mei sedikit kesulitan meraba pesan yang disampaikan salah satu
pendengarnya itu, terlalu banyak singkatan.
“Oo... ’thank`s buat yang bacain’ katanya. Okay deh Ega,
thank`s juga buat elo yang sudah ikut nimbrung. Ini dia /rif dengan lagunya Raja. Check it out!” Bang Ardi, si pemutar lagu langsung memutarkan lagu permintaan tadi.
“Wah, kaula muda gue mesti cabut nih, cause time is over! Gue Yubee undur diri. Mudah-mudahan malam Minggu depan si Seno udah bisa nemenin gue and kaula muda lagi. See you next week and
stay to say no to drug! Bye.. .bye…” salam Mei mengudara, mengakhiri acara favorit anak muda yang selalu ditunggu-tunggu. Seorang operator yang berdiri di depan kaca, mengacungkan jempol
ke hadapan Mei, mengisyaratkan semuanya berjalan baik.Meilani, gadis enerjik yang biasa mengudara dengan nama Yubee, sekarang sudah menginjak kelas dua SMA. Sudah satu tahun,
dia menggeluti dunia entertainment, khususnya sebagai penyiar radio yang bermarkas di Serang. Dia betah dan menikmati betul profesinya sebagai seorang penyiar. Kemampuannya untuk berkomunikasi dengan baik, membuatnya mudah merentasi dunia barunya ini.
“Buru-buru amat, Mei. Mau ke mana?” tanya Mbak Lia, penyiar senior di tempatnya bekerja.
“Mau jenguk Seno, Mbak. Kan dia lagi sakit,” jawab Mei sambil meraih tas gendongnya.
“Oh, kalau begitu. Mbak nitip salam buat dia, moga cepat sembuh.
Buruan siaran lagi gitu. Para penggemarnya pada kangen tuh!”
Pesan Mbak Lia, dijawab anggukan oleh Mei.
Gadis ceria itu mengambil sepedanya yang berjejer bersama motor-
motor juga mobil-mobil yang masih betah berada di tempat parkir.
Sepeda yang selalu setia mengantarkannya siaran.
Dikayuhnya sepeda itu menuju rumah Seno yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat mereka siaran, hanya dua kilometer.
Jarak rumah Mei pun tidak jauh dari tempat kerjanya, hanya satu setengah kilometer, hanya saja rumah Mei dan Seno berlawanan arah.
Udara malam yang dingin, membuat perjalanan Mei ke rumah Seno tidak terasa melelahkan. Dikayuhnya terus sepeda kebanggaannya itu menuju rumah Seno, kakak kelasnya, temannya,
sekaligus teman siarannya.
“Assalamu`alaikum…” terdengar suara salam Mei, ke luar dari bibirnya yang memerah indah. Tidak lama dia menunggu.
“Wa`alaikumsalam. Eh... Mei….” Suara lembut mama Seno menyambut kedatangannya.
“Iya, Tante,” angguk Mei sopan.
“Ada apa, Mei?” tanya mama Seno, lembut.
“Mau jenguk Seno, Tante.”
“Oooh... ayo masuk... masuk.... Duuh, tante sampai lupa ngajak kamu masuk, seperti orang lain saja.” Tante Lidia mempersilakannya masuk. Mei mengikuti.
“Seno.., ada Mei nih…” panggil tante Lidia kepada anak semata wayangnya.
Mei duduk di ruang tengah. Tempat Seno dan keluarganya biasa menghabiskan waktu untuk berkumpul sambil menonton televisi. Hubungan keluarga Seno dengan Mei cukup dekat. Bahkan
Mei sudah dianggap sebagai anak di keluarga itu. Begitu pun Mei yang telah menganggap mereka seperti keluarganya sendiri. Kedua orang tua Seno tahu bahwa Seno dan Mei sangat menyukai musik,
itulah pula sebabnya kedua remaja itu sangat berminat menjadi penyiar radio.
Seno muncul dengan penampilan semrawut, rambutnya acak- acakan. Tampak seperti orang yang baru bangun tidur.
“Baru bangun, No?” tanya Mei langsung setelah mengetahui kedatangan Seno.
“He... em…” Seno mengangguk sambil menutup kedua matanya yang masih terasa berat untuk dibuka.
“Elo sakit apaan, No?” tanya Mei lagi.
“Cuma pusing sedikit,” jawab Seno singkat. Mei menaikkan alisnya, heran. Tidak biasanya karena pusing sedikit, Seno membiarkannya siaran sendiri.
“Gue sih nggak apa-apa Mei, tapi bokap… Beliau sakit keras, Mei. Sekarang dirawat di ICU.”
Mei tersentak mendengar jawaban Seno.
“ICU?! Sakit apa, No? Kok elo nggak ngasih tahu gue?” tanya Mei bertubi-tubi, sedih sekaligus kecewa pada Seno yang tidak memberinya kabar tentang kondisi kesehatan papanya. Padahal, Om Anto, papa Seno sudah Mei anggap seperti orang tuanya sendiri dan juga guru yang bijak yang selalu mengajaknya diskusi tentang hal-hal apa saja yang mewarnai kehidupan manusia.
Mei teringat pesan lelaki tua yang baik hati itu kepadanya, agar Mei sering-sering saja datang ke rumahnya, menemaninya berbincang-bincang. Om Anto terkadang merasa jemu berada di rumah
terus, menghabiskan masa pensiun yang diambilnya sejak setahun yang lalu. Tante Lidia sebenarnya selalu setia menemaninya, tapi Om Anto ingin sekali mengobrol dengan anaknya. Sedangkan Seno, dia terlalu sibuk di luar rumah, mengikuti berbagai macam les untuk mematangkan persiapannya mengikuti ujian akhir nasional
sekaligus juga test-test untuk masuk perguruan tinggi negeri yang sesuai dengan fakultas yang akan ditujunya. Belum lagi kegiatan siarannya, yang cukup menyita waktunya juga.
Pernah, kedua orang tua itu mengatakan kepada Mei, bahwa dengan kehadirannya, sudah menambah keceriaan di dalam keluarga
itu. Seno pun sangat senang, sahabatnya bisa diterima sangat baik di keluarganya.
Mei pun sangat senang berada di tengah keluarga Seno, terkadang ingatannya langsung tertuju pada kedua orang tuanya yang ada di Sumedang.
Di Serang, Mei tinggal di rumah kontrakan bersama kakak perempuannya yang juga bekerja di ibukota Banten itu. Sengaja Mei memilih SMA di Serang untuk meneruskan pendidikannya karena ingin menemani kakaknya. Kedua orang tuanya pun sangat dukung niat itu.
“Paru-paru bokap gue membengkak. Kata dokter di dalam pembuluh paru-parunya ada sumbatan.” Seno menarik napas dalam lalu segera dihempaskan. Ada beban yang terlukis di wajahnya.
“Kenapa elo nggak kasih tahu gue?” tanya Mei mengulangi pertanyaannya tadi.
“Bukannya gue nggak mau kasih tahu lo, tapi gue memang belum sempat, Mei.” ucap Seno memberikan alasan. Mei menerima alasan itu, walaupun setengah masygul.
“Terus siapa yang menunggu Om di sana kalau elo dan Tante ada di sini?”
“Justru sebentar lagi kami bakal balik ke rumah sakit. Ada yang mesti nyokap ambil dari rumah, makanya kami pulang dulu. Sejak Jumat kemarin, gue kurang tidur, Mei, nungguin bokap di
rumah sakit, makanya kepala gue pening banget.” jelas Seno.Tante Lidia menyuguhkan minuman dan penganan ringan pada Mei.
“Tante, saya boleh ikut ke rumah sakit kan?”pinta Mei.
“Bagaimana dengan kakakmu? Nanti dia mencari,” Tante Lidia mengingatkan.
“Telepon dulu saja, Mei.” saran Seno.
Mei langsung menekan tombol deretan angka-angka di telepon milik keluarga Seno. Tidak lama Mei terhubung dan berbicara pada kakaknya, lalu dia kembali menutupnya. Izin kakaknya telah dia dapatkan dengan mudah. Kakak Mei tahu tentang
keluarga Seno, makanya dia tidak pernah khawatir akan adik bungsunya itu.
“Elo ambil PMDK, No?” tanya Mei pada Seno. Mereka duduk di kursi yang terletak di depan ruang ICU.
“Iya. Gue ambil di Jakarta.” jawab Seno sambil melipat kedua tangannya di dada, kedinginan.
“Fakultas apa?”
“Ekonomi.”
“Itu pilihan elo sendiri?” selidik Mei. Dari ucapannya,
dia meragukan kemantapan pilihan hati Seno. Dia berani menanyakan itu, sebab ia tahu, bahwa Seno sebenarnya lebih suka memilih Fakultas Hukum.
“Bokap sama nyokap yang minta. Eemmm... tepatnya ngasih saran gue.”
“Huuu... cowok nggak berpendirian.” Celetuh Mei, setengah bercanda. Seno mengernyitkan dahi.
“Kenapa elo bilang begitu?” tanya Seno tidak mengerti.
“Bukannya elo mau masuk ke Hukum?” Mei mengingatkan ucapan Seno beberapa bulan lalu.
“Mungkin Hukum nggak cocok buat gue.”
“Mungkin? Kalau begitu, mungkin iya, mungkin juga nggak
dong?” ujar Mei, seolah mengajak Seno saling berbantah.
“Gue punya pendirian, Mei. Menuruti apa kata orang tua gue, justru itu pendirian gue. Gue yakin mereka tahu yang terbaik buat gue.” jawab Seno malas, untuk berargumen dengan Mei.
“Cuma elo yang tahu apa yang terbaik buat elo, sebab elo yang ngejalanin nantinya,” Seno tidak menanggapi ucapan Mei tadi. Mendengar ucapan itu, Seno melengos. Mei pun tersadar, sekarang
bukan saat yang tepat untuk saling berbantah.
“Btw, minggu depan elo bakal nemenin gue siaran kan?” Mei mengalihkan pembicaraan. Seno tersenyum dan mengangguk. Gadis berhidung mancung itu senang melihat temannya tersenyum lagi, sebab tadi sempat melihat wajah Seno yang sekilas membeku dan kaku.
Jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Para siswa langsung ke luar berhamburan untuk pulang, beberapa di antaranya ada yang tetap di sekolah untuk mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Sedangkan para siswa kelas tiga tengah asyik
mencari-cari informasi tentang hasil PMDK yang telah dijanjikan Bu Endah kemarin.
“Yeah! Gue berhasil, Mei. Gue berhasil! Gue dapat di Fakultas Ekonomi.” teriak Seno dengan sepasang mata yang berbinar-binar setelah melihat namanya berada pada daftar nama siswa yang memperoleh PMDK yang diletakkan di papan pengumuman.
Mei yang berada di sampingnya tersenyum turut bangga. Ia pun mengulurkan tangannya, mengucapkan selamat pada Seno.
“Gue mau ikut ke rumah sakit, Mei. Elo ikut?” tanya Seno yang langsung dijawab dengan anggukan Mei. Dia ingin sekali menyaksikan kebahagiaan di tengah Seno, meskipun ayah Seno masih
berada di rumah sakit.Mei langsung menarik Seno, mengajaknya bergegas ke rumah sakit.
Sejak dua hari yang lalu, keadaan Om Anto semakin membaik, sehingga dokter memindahkannya dari ICU ke ruang rawat inap biasa.Seno dan Mei berjalan memasuki ruangan serba putih yang berdiri kokoh di tengah-tengah Kota Serang. Langkah-langkah kaki mereka panjang, ingin cepat-cepat sampai. Bau obat yang menyengat meraba indera penciuman, tidak mereka perdulikan. Cukup panjang jalan yang mereka tempuh untuk sampai ke ruang perawatan Om Anto,
namun hal itu tidak membuat keduanya merasa kelelahan.
Saat Seno dan Mei membuka pintu ruang perawatan Om Anto, keduanya tidak mendapati Om Anto di ranjangnya, begitu pula Tante Lidia.
Seno mencari papanya ke kamar mandi. Namun, tidak juga dia temui.
Seno kalut. Seorang perawat ditanyainya, namun dia tidak mengetahui tentang keberadaan pasien. Dia hanya menunjukkan kepada Seno dan Mei agar menghubungi ruang informasi saja.
Seno dan Mei pun langsung menuju ke sana.
“Pasien di kamar 068, masuk ke ICU, Dik.” jawab petugas yang mereka temui di ruang informasi.
“ICU?! Lagi?!!” Seno setengah histeris. Tidak lama
kemudian dia tertunduk lemas.
“Seno, kita ke sana. Ayo!” tuntun Mei.
“Ma...” panggil Seno dari jarak beberapa langkah lagi.
Dia melihat mamanya dikelilingi sanak saudaranya. Beberapa pasang mata mereka berlinangan air mata. Seno tidak mengerti.
“Seno… sini, Sayang…” Mamanya langsung memeluk Seno dan terisak di bahu anak lelakinya itu.
“Ma, Seno berhasil dapat PMDK. Seno dapat, Ma!”
“Syukurlah, nak. Mama sangat gembira mendengarnya. Ayahmu pasti juga akan bangga, apabila ia bisa mendengarnya. Tapi, mama yakin, di sana, ia pasti... pasti... bangga. ucap mamanya sambil menahan isakan tangisnya.
Seno terdiam kaku. Tatapannya kosong. Sinar yang tadi mengisi sepasang bola matanya, bgai ada yang mencuri. Kebahagiaan itu pudar seketika. Lututnya mencium lantai keramik yang berwarna putih. Tangannya memeluk kaki mamanya erat, menahan jerit, hingga air matanya tidak terbendung, berjatuhan.Siaran malam Minggu berikutnya…
“Hallo…hallo.., kaula muda Banten. Jumpa lagi di Sabtu malam bersama gue, Yubee di acara heboh pilihan para jomblo.
Ya.., gue sendirian lagi nih… But it`s okay, gue bakal bikin malam Minggu kalian jadi ceria!” Suara Mei kembali membuka acara malam Minggunya. Menitipkan suaranya pada angin agar kembali menyaput telinga para pendengarnya.
“Hallo, Bee. Si cakep Seno mana, kok nggak kedengeran
suaranya?” Pesan singkat itu dibaca Mei turut mengudara.
“Ukh... pada kangen sama Seno ya?” goda Mei seolah yang diajak bicara ada di depannya.
“Seno lagi berhalangan. Ukh... dia pasti ke-GR-an,
dicari-cariin melulu!” canda Mei centil, diikuti derai tawanya. Tawa yang sangat berlainan dengan isi hatinya yang juga ikut sakit karena kepergian Om Anto.
“Siapa yang ke-GR-an, Bee?” Mei takjub melihat orang yang sedang dibicarakan tiba-tiba datang dari belakang, sudah siap dengan headphone di telinganya. Menyapanya lalu kembali menyapa
para pendengar yang sudah seminggu tidak mendengar suaranya mengudara.
“Yeah, kaula muda gue bakalan nemenin kalian di acara ini
sampai tuntas... tas... tas...,” ucap Seno bersemangat.
“Sekarang, kita simak aja lagu dari Ruth Sahanaya dengan
judul Kembali. Stay tune terus di radio kesayangan kalian.”
Lagu itu berputar. Mengitari hati Mei yang masih diliputi rasa terkejut. Seno kembali tersenyum, diledeknya Mei bertubi- tubi. Dia kembali usil dan jahil. Mei manyun, namun hatinya merasakan kebahagiaan yang teramat, Seno telah kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar