Teruslah berjalan dalam kebenaran walau itu adalah penyebab kematianmu!!

Rabu, 07 Maret 2012

Kala Asa Tertikam Luka


“Iya, Ris. Lo inget kan, persahabatan itu seperti anggota tubuh. Ketika tangan teriris, maka mulut yang mengaduh, mata yang menangis dan tangan yang satunya yang membantu mengobati. Begitu juga sebaliknya.”
“Ayo, cepat, cepat, cepat!” seru Pak Anwar, guru olah raga SMAN 1 Cilegon, kepada siswa kelas X.2 yang datang terlambat.
“Risa, kenapa perut kamu dipegangi terus?!”
“Sakit, Pak,” jawab Risa, sambil terus memegangi dan meremas-remas perut sebelah kirinya yang terasa nyeri.
“Sakit bagaimana?!”
“Maag saya kambuh.”
“Ya, sudah. Kamu ke kantin. Makan dulu. Setelah makan, kamu kembali lagi ke lapangan. Hari ini ada tes serven bola volly.”
“Enggak usah deh, Pak. Makan juga percuma, pasti muntah lagi.”
“Bandel, kamu. Ya sudah, kamu di kelas aja. Tapi nanti kamu harus membuat keliping tentang bola volly, sebagai ganti nilai tes kamu.”
“Terima kasih, ya Pak,” jawab Risa, kemudian berlalu meninggalkan lapangan dan menuju ke kelasnya. Ketika Risa masuk ke dalam kelas, ia melihat Tia duduk seorang diri. kepalanya tersandar lemah di tembok.
Hidungnya merah dan matanya sembab. Bulir-bilir air masih tersisa di sudut matanya. Risa langsung menghampiri sahabat karibnya itu, kemudian duduk di samping kirinya.
“Ada apa, Tia? Kamu sakit juga?” tanya Risa, hati-hati.Tia langsung memeluk tubuh mungil Risa. “Risa, Nana selingkuh,” adu Tia, sambil menangis.
Risa menghela nafas. Berat. Tangan kanan yang tadi memegangi perutnya yang terasa nyeri, kini langsung meraih pundak Tia dan membelai rambutnya perlahan, penuh kasih.
“Kamu tahu dari mana dia selingkuh?” tanyanya, masih dengan hati-hati.
“Kemarin gue lihat Nana jalan sama Mira. Terus waktu gue tanya, Nana ngaku kalau mereka sudah satu bulan jadian,” jawab Tia, sesenggukan
“Ya, sudah. Kamu lupain aja cowok yang bisanya cuma nyakitin perasaan doang.”
“Tapi... gue masih sayang banget sama Nana.”
“Tia, kamu sadar enggak. Nana sudah sering nyakitin hati kamu,” ucap Risa, sambil menatap mata Tia.
“Memang sih, tapi....”
“Tia, kita hidup bukan untuk disakiti. Buka mata kamu
lebar-lebar. Di luar sana banyak cowok yang sayang sama
kamu. Ridho, Galih, Sandy. Untuk apa lagi sih kamu
mikirin Nana, yang jelas-jelas sudah nyakitin hati kamu.
Lupain Nana,” seru Risa, tegas.
“Ngomong gampang, Ris. Tapi ngelakuinnya susah. Lo enggak ngerasain gimana perasaan gue. Elo enggak tahu gimana sakitnya hati gue!” Emosi Tia memuncak.
DEEGGG!
Ada hati yang hancur. Ada hati yang tersayat-sayat oleh sembilu.
Sakit! Lambungnya pun ikut terasa nyeri.
Lebih nyeri dari sebelumnya.
Risa menghela napas.
“Oke, terserah kamu,” seru Risa, pasrah. Tapi di dalam hatinya, ia merasakan kesedihan yang sangat mendalam.
Di ufuk timur mentari mengintip dengan malu-malu. Semilir angin menyapa dengan syahdu. Tapi perasaan Ririn tidak seindah minggu pagi ini.
“Risa, sekarang lo bisa ke rumah gue enggak?” tanya Ririn, setelah Risa mengangkat HP-nya.
“Ada apa, Rin?” tanya Risa, khawatir.
“Gue butuh lo sekarang,” jawab Ririn, dengan suara serak -serak basah.
“Ya, sudah. Aku ke sana.”
Meskipun Risa merasa enggak enak badan, karena maagnya kambuh lagi, tapi ia tetap memutuskan untuk pergi ke rumah Ririn. Risa ingin menemani Ririn yang sepertinya sedang menghadapi masalah yang sangat berat.
“Risa, gue putus sama Fikar,” adu Ririn sambil memeluk tubuh Risa, ketika ia baru saja berada di depan pintu rumahnya. Tangisnya pecah.
“Iya, tapi apa aku enggak disuruh masuk dulu, nih?”
Ririn kemudian melepaskan pelukannya dari tubuh Risa, menyeka air matanya dan mempersilahkan Risa masuk,
“Sori. Ya udah, langsung ke kamar gue aja, yuk.”
Risa melangkah masuk, mengikuti langkah Ririn yang sudah tidak sabar ingin mengeluarkan kesedihannya. Sesampainya mereka di kamar, Ririn langsung mengunci pintu. Ia hempaskan tubuhnya di tumpukan bantal Tazmania kesayangannya.
BRUUKKK!
Risa tersentak. Ternyata Ririn jatuh di tempat yang salah. Tubuhnya menghantam lantai.
“Aduh...,” Ririn mengaduh kesakitan.
“Ya ampun, Rin. Kalau kamu lagi sedih, kamu enggak usah menyiksa diri seperti itu, dong,” seru Risa, sambil membantu Ririn bangun.
“Siapa yang menyiksa diri,” Tia membela diri.
“Ririn... Ririn... ada-ada aja kamu,” seru Risa, sambil tersenyum.Ririn ikut tersenyum.
“Sebenarnya ada apa sih?” tanya Risa.
“Ternyata Fikar sudah punya tunangan, Ris.” Senyum yang tadi menghiasi bibir tipisnya pudar seketika. Berganti tangis.
“Ya, sudah. Kamu sabar aja, ya,” seru Risa.
Hanya kalimat itu yang mampu meluncur dari bibirnya, tapi hatinya masih berkata-kata, “Ririn, Tia, sebenarnya aku sudah bosan mendengar masalah percintaan seperti ini.
Kalau saja kalian tahu masalah yang sedang aku alami. Masalahku lebih berat dibandingkan masalah kalian, karena ini menyangkut hidupku, harapanku dan harapan orangtuaku. Akankah kalian mengerti, putus dengan cowok
bukanlah masalah yang serius. Harusnya kalian bangga kerena sudah putus sama cowok seperti itu, karena itu berarti kalian mempunyai kesempatan untuk mengenal cowok
yang lebih baik dari mereka.”
Di sebuah kamar bercat biru, Risa sedang berguling-guling memegangi perutnya. Lambungnya terasa nyeri hingga ke ulu hati. Nafasnya sesak, karena rasa nyeri yang amat hebat di lambungnya itu. Perutnya pun mual. Tenggorokannya
pahit.HOEEEKKKK!
Darah segar bercampur asam lambung keluar dari mulut Risa. Tubuhnya langsung lemas. Lunglai.
BRUUKKK!
Tubuhnya ambruk. Jatuh ke lantai.
Tok... Tok... tok....
“Risa, kenapa kamu, Nong?” tanya Ibunya, cemas.
Sudah berkali-kali Ibunya bertanya, tapi tak ada juga jawaban dari Risa. Ibunya semakin cemas. Ia lalu memanggil Pak Mu’in, tetangga sebelah, untuk membantunya mendobrak kamar Risa.
BRAKKK
Pintu kamar terbuka dengan paksa. Risa tergeletak di lantai tak sadarkan diri. Bercak darah berceceran.
“Risa?!” Ibunya memekik kemudian langsung memeluk tubuh Risa,
“Risa anakku, kenapa kamu, Nong.”
“Sebaiknya kita panggil Pak RT aja, biar Risa dibawa ke rumah sakit,” usul Pak Mu’in.
“Ya sudah, cepat kamu panggil Pak RT. Nanti Risa keburu meninggal.”
Pak Mu’in bergegas memanggil Pak RT. Tak lama kemudian Pak RT datang dengan membawa mobil bak terbuka yang dimlikinya. Risa dinaikkan ke atas mobil itu dan segera dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah.
Sudah tiga hari Risa di rawat di RSUD, tapi keadaannya masih lemah. Gastritis atau biasa disebut radang lambung, dan sebutan yang paling populer lagi adalah Maag, yang dideritanya benar-benar sudah kronis. Lambungnya berlubang, karena terkikis oleh asam lambung.
Tiba-tiba Ririn sudah berada di ruang inap tempat Risa dirawat. Tia yang sempat bentrok dengan Risa pun ikut menjenguk. Karena walau bagaimanapun, Risa tetaplah sahabatnya.
“Risa, kenapa kamu enggak pernah bilang kalau kamu sakit?” tanya Tia, sambil menangis tersedu-sedu.
“Aku... aku... aku enggak mau menambah beban kalian,” akhirnya tangis yang ia pendam selama ini pecah. Tia dan Ririn segera memeluknya.
“Lo salah kalau berpendapat kayak gitu,” seru Tia.
“Iya, Ris. Lo inget kan, persahabatan itu seperti anggota tubuh. Ketika tangan teriris, maka mulut yang mengaduh, mata yang menangis dan tangan yang satunya yang membantu mengobati. Begitu juga sebaliknya.”
“Iya, aku ingat. Teman-teman, maafkan aku ya.”
“Harusnya kita yang minta maaf, Ris. Kita egois. Kita hanya mentingin diri sendiri. Kita enggak pernah tahu perasaan lo. Dan kita juga enggak pernah mencari tahu. Saat lo ada masalah, kita bukannya mengurangi beban hati lo, justru malah nambahin beban hati lo dengan masalah Nana yang enggak penting.”
“Gue juga. Sori ya, Ris. Gue malah nambah masalah lo dengan masalah Fikar yang enggak penting banget.”
“Enggak apa-apa, kok. Yang terpenting sekarang, kita tetap bersahabat.”
Risa kemudian merasakan nyeri di lambungnya. Nafasnya sesak, karena rasa nyeri yang amat hebat di lambungnya itu. Perutnya pun mual. Tenggorokannya pahit.
HOEEEKKKK!
Darah segar bercambur asam lambung keluar dari mulut Risa. Tubuhnya lunglai. Risa tak sadarkan diri. Semua yang berada di tempat itu panik.
“Dokter!”
“Suster. Cepat ke sini!”
Tenaga medis yang mendengar teriakan itu langsung menghampiri. Meminta orang-orang yang mengerubungi Risa keluar sebentar. Kemudian memeriksa keadaan Risa. Lima menit kemudian dokter yang menangani Risa keluar.
“Dokter, bagaimana keadaan Risa?” tanya Ibunya, Tia, dan Ririn bersamaan.
“Maaf, kami sudah berusaha semampu kami. Tapi, Tuhan berkehendak lain.”
“Enggak mungkin. Risa enggak mungkin mati. Dia mau jadi dokter. Dia mau bantu orang-orang miskin kayak saya, biar bisa berobat gratis!” seru Ibunya, sambil berlinangan air mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar