Teruslah berjalan dalam kebenaran walau itu adalah penyebab kematianmu!!

Senin, 30 Januari 2012

The mistake that became a legend


Kesalahan yang menjadi Legenda


Dalam menjalani kehidupan berkeluarga, kita takkan luput dari melakukan kesalahan. Belajar memaafkan anak-anak Anda atas kesalahan mereka adalah satu hal, dan mengajar mereka memaafkan Anda atas kesalahan Anda adalah hal yang lain lagi. Jika kita melakukan kesalahan atau meledak-ledak dalam amarah, kita juga harus meminta maaf. Jika Anda benar-benar marah pada anak Anda sebelum ia berangkat ke sekolah, Anda perlu menyelesaikannya sebelum ia meninggalkan Anda selama beberapa jam untuk bersekolah.

Sebagian besar orangtua merasa sangat bersalah ketika memberi hukuman yang tak setimpal dengan kesalahan anak. Ini biasanya terjadi ketika sedang letih sehingga sedikit kelakuan buruk saja dapat memicu kesulitan yang lebih pelik. Di saat seperti itu, kita harus berhenti, melakukan introspeksi dan kemudian mendatangi serta berbicara dengan anak. Saat itu juga merupakan saat yang tepat untuk mengakui kegagalan Anda. Lakukan dengan jujur dan terbuka, anak-anak mudah tanggap dan belajar langsung dari contoh.

Mengampuni tak selalu mudah. Mungkin perlu usaha keras, tetapi pengampunan adalah satu-satunya cara untuk melangkah maju. Adakalanya, setelah direnungkan kembali, kesalahan kita dapat menjadi legenda. Anak-anak saya senang sekali mengingatkan saya pada kesalahan besar yang pernah saya lakukan beberapa waktu yang lalu.
Saat itu, saya berhasil membujuk seluruh anggota keluarga bahwa berjalan kaki melihat-lihat burung di daerah rawa-rawa dekat laut akan sangat menyenangkan. Kami membawa berbagai macam topi yang terlalu sempit dan sarung tangan yang tak sesuai dengan pasangannya, sehingga setiap orang harus memilah dan memilih dulu yang cocok, sebelum kami berangkat.

Saat itu bisa dikatakan angin berembus “sepoi-sepoi” dan tanahnya becek. Kami sudah berjalan cukup jauh menyisir pantai, ketika anak-anak mulai menggerutu. Mereka mulai berargumen tentang salju, hujan es, atau butiran-butiran beku yang akan menimpa kami. Saya baru saja akan mengatakan bahwa semua itu takkan terjadi, ketika saya memandang ke seberang rawa-rawa dan melihat hujan es siap menghadang jalan kami. Saat itu, sudah tak mungkin bagi kami untuk kembali. Tempat berlindung terdekat berada sekitar 1,5 km dari kami, dan mobil kami berjarak sekitar 3 km ke arah yang berlawanan. Kami lalu berdiskusi dan memutuskan bahwa jalan terbaik adalah maju terus untuk mencari tempat berlindung dari badai yang akan datang, dan kemudian mencemaskan untuk kembali ke mobil.

Sepuluh menit kemudian kami diterjang badai yang terdiri dari gabungan angin ribut, hujan es, dan salju. Saya mulai menyanyikan lagu The Wheels on the Bus Go Round dalam usaha yang sia-sia untuk membuat semuanya terus berjalan. Roda-roda kursi lipat hampir tak bisa bergerak sama sekali di lumpur, saat kami mencoba mendorongnya dengan sekuat tenaga. Kakikaki kedinginan, tangan terasa beku dan saya tak punya cukup tisu untuk menyeka semua wajah yang berlinangan air mata dan hidung yang basah.

Akhirnya, kami sampai juga di jalan beraspal dan langsung mencari restoran. Kami berandai-andai jika perjalanan berakhir di situ, pastilah sangat menyenangkan. Namun kenyataannya, saat itu kami masih berada sekitar 2,5 km dari mobil, sehingga setelah beristirahat untuk minum dan menghangatkan jari-jari, kami pun berjalan lagi.

Anak-anak, mulai dari yang sulung sampai yang bungsu, sangat marah pada Mike dan saya, karena telah membuat mereka harus berjalan kaki 9,5 km dalam cuaca yang sangat buruk itu. Lagipula, siapa yang dapat menyalahkan mereka? Kami menempuh perjalanan pulang dengan tuduhan yang terus berdengung di telinga kami. Semakin mereka ditenangkan dan dihangatkan, kemarahan mereka pun semakin hangat. Kami lalu meminta maaf karena sudah tak mendengarkan, tetapi mereka malah semakin seru meluapkan kemarahan daripada mendengarkan kami yang terbata-bata menjelaskan, bahwa kami memang sudah membuat kesalahan besar.

Akhirnya semua anak menerima permohonan maaf kami dengan janji, bahwa kami takkan berjalan kaki seperti itu lagi. Kami pun dimaafkan dan keharmonisan keluarga pun pulih kembali— setidaknya untuk sementara. Jika Anda mengalami peristiswa yang serupa, jangan lupa juga untuk memaafkan diri sendiri ketika Anda melakukan kesalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar