Adi mulai paham pada sikapnya sendiri. Malam itu dia bicara bohong pada Tiara. Dia bohong saat bilang lupa pada apa yang namanya sakit hati. Nyatanya? Hatinya sangat sakit.
“Kamu diam terus kenapa, sih?!” gerutu Adi kesal.
“Ra!” wajah itu mendongak refleks menyiratkan semu pias. Tak enak hati atas omongannya yang sempat meninggi. Adi terang saja heran dengan sikap jutek Tiara akhir-akhir ini. Entah kenapa
dengan gadis itu. Sepertinya akhir-akhir ini Tiara sengaja menjauhinya. Sementara itu, Tiara masih dalam kebisuannya.
“Harusnya kamu mengerti, Di. Aku sudah berkali-kali bilang….”
Adis mulai paham arah pembicaraan Tiara. Seharusnya gadis itu paham akan keadaan dirinya. Adi sudah berkali-kali bilang pada Tiara, ia akan tetap pada jalannya sendiri. Karena, sejak pertama kali mereka bersama, dia memang sudah seperti itu adanya. Ia tak ingin seorang pun mengubah keadaan dirinya, terlebih Tiara.
“Adi! Sebentar lagi ujian akhir. Kamu butuh belajar agar bisa masuk universitas yang kamu inginkan. Kalau kamu terus seperti itu, lebih baik kita akhiri hubungan ini sampai di sini!” getir Tiara dalam ucapannya. Adi terdiam, membuat Tiara jadi tak enak hati.
“Maaf, Di, aku tidak bermaksud membuatmu sakit hati,” ucap Tiara penuh rasa sesal.
“Sudah lama aku lupa sama yang namanya sakit hati. Sudah terlalu kenyang dengan kata itu hingga aku tak bisa merasakannya lagi.
Kejadian pahit manis yang kulalui hanya sebuah lelucon yang lewat begitu saja bagiku,” ucap Adi datar. Ada kecewa menyelimuti hati Tiara. Cowok itu tak berusaha mempertahankan jalinan cinta mereka. Apakah itu berarti hati Adi memang sudah tertutup untuk rasa itu?
“Realistis dong, Ra! Adi itu sudah banyak membuat masalah. Apa sih yang kamu dapat dari dia selama ini? Cowok trouble maker begitu kamu cintai. Walaupun cinta itu nggak memilih tempat bila sudah jatuh, tetap saja logika mesti jalan!” kembali Tiara mengingat ucapan Naily beberapa waktu lalu. Saat itu Tiara mengeluh, ketika Adi mulai tak memperhatikannya. Apa yang dikatakan Naily memang benar adanya. Adi itu cowok bermasalah. Tapi entah kenapa Tiara masih saja mencintainya.
Apakah karena belas kasihan? Rasanya tidak! Tiara yakin akan perasaannya, perasaannya pada Adi sama sekali bukan belas kasihan karena kegetiran hidup yang dilalui cowok itu. Sama
sekali bukan! Perasaan itu murni sebuah cinta! Tapi apakah ia salah melabuhkan cintanya pada sosok Adi?
Walaupun dari awal Tiara tahu Adi itu pecandu drugs, ia tidak
mampu menolak saat cowok itu menyatakan cintanya. Karena pada saat itu Tiara yakin, dengan ketulusan yang diberikannya, suatu
saat nanti Adi pasti bisa menghilangkan kebiasaan buruknya. Tapi nyatanya tidak! Apalagi setelah perceraian kedua orangtuanya,
Adi semakin terpuruk dalam dunia gelapnya. Drugs, kebut-kebutan, dan ikut balapan liar. Apa lagi yang bisa diharapkan dari cowok itu?
Kemelut yang ditularkan Adi telah menyeretnya pada pusaran galau yang tak menemukan tepi. Cowok yang telah memberinya beribu
kerumitan pada rasa dan pikiran. Kegalauan semakin mengikuti setiap langkah Tiara ke mana saja. Sepertinya tak ada lorong dan
celah untuk bisa membuatnya bernafas lega dan sejenak melupakan beban dan problema.
Malam itu, kantuk sepertinya menjauh dari mata Tiara. Sudah dicobanya untuk memejamkan mata, tapi bayangan Adi selalu melintas di pikirannya. Kalau dipikir-pikir, cinta itu membuat orang jadi tolol. Kalau jeratnya sudah terlalu dalam menyeret,
akal sehat terlupakan begitu saja. Sudah tahu bermasalah, tetap saja dijalani.
Pagi itu tanpa sengaja Tiara berpapasan dengan Adi. Cowok itu terlihat begitu kusut, tapi itu tetap tak mampu memudarkan pesonanya. Tiara menangkap ada sinar rindu di dalam mata Adi.
Tapi entahlah, mungkin itu hanya perasaan Tiara. Buktinya?
Adi sedikit pun tidak menyapanya.
Bahkan sekedar berujar ”hai” pun tidak ia lakukan. Hati Tiara benar-benar teriris dan itu begitu
pedih! Tak ada lagi cinta di hati Adi untuk dirinya. Secepat itukah Adi melupakan dirinya?
“Ra!” sebuah tepukan halus di pundaknya membuat Tiara tersadar dari kantuk yang tiba-tiba menyerangnya.
“Pulanglah dulu untuk istirahat. Kau terlihat lelah sekali,” pandangan wanita setengah baya itu penuh rasa kasih. Dielusnya rambut Tiara seakan pada anak kandungnya sendiri.
“Tidak apa-apa, Tante. Besok kan hari Minggu,” Tiara mencoba memberikan alasan. Kelelahan juga nampak pada wanita setengah baya yang tak lain adalah mama Adi. Ada penyesalan dalam
hatinya. Wanita setengah baya itu memang salah terlalu memanjakan Adi, hingga kini jiwanya rapuh. Adi tak mampu menghadapi sebuah masalah yang terlalu berat baginya.
Mata Tiara tak lepas menatap mama Adi. Gurat di wajahnya menampakkan kelelahan yang amat sangat. Hingga seakan wajahnya terlihat lebih tua dari umur yang sebenarnya. Ketika titik air terlihat membasahi pipi mama Adi, Tiara mendekat dan meraih tangan wanita setengah baya itu dalam genggaman tangannya.
Berharap mampu meredam kegalauan yang melanda hati seorang ibu yang kini resah sebab putranya terbaring tak berdaya karena koma.Dua hari yang lalu Adi mengalami kecelakaan saat mengikuti
balapan liar. Di bawah pengaruh drugs, cowok itu memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi.
“Keluarga Adi?” seorang dokter berdiri tegak di hadapan mereka.
“Adi sudah sadar. Tapi keadaannya masih lemah,” dokter memberi keterangan.
Tanpa menunggu lebih lama, mama Adi dan Tiara segera masuk di Ruang ICU. Saat tiba di ruangan, terlihat cowok itu begitu pucat dengan selang infus di tangan dan di hidungnya, juga alat
pendeteksi jantung di sebelah kirinya. Mata Adi terlihat begitu kuyu tapi ia masih mencoba melemparkan senyum. Tatapan matanya mengharap agar Tiara mau mendekat. Mama Adi, yang mengerti keadaan, segera meninggalkan mereka berdua.
“Apa kabar, Ra?” Adi memecah keheningan di antara mereka berdua.
Terlihat Adi menahan sakit yang dideritanya. Ada rasa tak tega di hati Tiara melihat keadaan cowok itu. Bagaimanapun keadaannya, mereka pernah bersama menjalin kisah yang manis walau hanya sesaat. Dengan segenap kekuatan yang ada padanya Adi mencoba meraih tangan Tiara. Tiara pun meraih tangan lemah itu dalam genggaman tangannya. Adi mulai paham pada sikapnya sendiri. Malam itu dia bicara bohong pada Tiara. Dia bohong saat bilang lupa pada apa yang
namanya sakit hati. Nyatanya? Hatinya sangat sakit, saat Tiara memutuskan hubungan mereka berdua. Ternyata dirinya begitu mencintai Tiara dan tidak mampu menghapus bayang gadis sederhana itu dalam benaknya. Pandangan mata Adi terlihat begitu kelabu membuat perasaan Tiara tersentuh.
“Aku mohon, Ra, jangan pernah berhenti untuk mencintaiku!” ada
kesungguhan di mata Adi saat mengatakan asa itu. Dan bagi Tiara
itu sudah lebih dari cukup untuk mengatakan bahwa ia memang tak pernah berhenti mencintai Adi.
Tiara membuka matanya saat dirasakannya ada tangan yang membelai lembut rambutnya. Dilihatnya masih dengan wajah yang begitu pucat Adi mencoba tersenyum.
“Kata Mama, sejak kemarin kamu belum istirahat. Pulanglah dan tidur, kau terlihat jelek!” Adi mencoba bercanda, membuat Tiara tertawa kecil.
Dilihatnya mama Adi masih tidur di sofa yang berada di sudut ruangan. Tiara kembali menatap Adi.
“Aku sudah tidak apa-apa, pulanglah! Tapi harus janji, nanti ke sini lagi!” Adi merajuk.
Tiara memang merasakan penat di tubuhnya, bahkan pikirannya. Tapi rasanya semua itu tak sebanding dengan senyum Adi. Tiara tahu, ada penyesalan di hati Adi atas apa yang telah terjadi. Ia juga berjanji akan sungguh-sungguh belajar untuk ujian terakhir nanti.
Tiara selalu yakin, jika ada kemauan, pasti akan ada 1001 jalan. Dan 1001 jalan itu telah terbuka untuk Adi. Betapa bahagia dirinya andai saja Adi benar-benar menepati janjinya untuk berubah. Rasanya tak sabar untuk menanti saat itu tiba. Mata belum sempat terpejam saat entah mengapa tiba-tiba saja Tiara mendengar bisikan Adi di telinganya.
“Ra, jangan pernah berhenti mencintaiku!”
“Ra!” teriakan Mama membuat Tiara terjaga. Dengan malas,
ia melangkah membuka pintu kamar. Ada yang tak menentu di hati Tiara saat dilihatnya Mama masih memegang telepon dengan wajah pucat dan mata berkaca-kaca.
“Adi… dia telah pergi sepuluh menit yang lalu,” ucap Mama tebata-bata.
Tiara masih terpaku di tempatnya. Rasanya baru satu jam yang lalu dia menggenggam jemari Adi dalam genggaman tangannya, menatap senyum manisnya. Melihat kesungguhan di mata elangnya bahwa janji untuk berubah dan meninggalkan drugs akan ditepatinya. Dan Tiara menanti saat itu tiba. Tapi nyatanya? Tuhan Mahakuasa.
“Ra, jangan pernah berhenti mencintaiku,” hanya itu kata -kata terakhir Adi yang kini terngiang di teliganya.
“Ra!” Mama segera menyongsong tubuh Tiara dalam pelukannya.
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar